Minggu, 27 Mei 2018

Kehilangan

Bagi yang udah tahu sama sahabat saya yang dicantumin sebagai sahabat terbaik, yang bernama Ane Yuliani. Ya, dia sudah tiada. Sakit memang, bahkan saya lebih sakit ditinggalkan beliau dibanding ditolak SNMPTN😅 Alm kecelakaan saat berangkat dari rumah mau ke kampus, kebetulan dia sekampus sama saya. Alm meninggal pada senin, 14 november 2016. Saat kami masih menikmati masa-masa menjadi maba, alm dipanggil. Mungkin ini remcana terbaik dari Allah buat dia. 2 hari sebelumnya saya berulang tahun, entah firasat atau apa, saya pas hari ultah di tahun itu, saya sangat menunggu ucapan dari alm, memang saya suka ngabsen siapa aja teman-teman terdekat saya yang sudah mengucapkan, dan siapa yang belum. Dan kebetulan, saya sangat nunggu ucapan dari alm, nunggu banget. Bahkan lebih dari saya menunggu ucapan dari gebetan. Tapi akhirnya alm ngucapin, ya di keesokan harinya, katanya dia kehabisan baterai jadi baru sempat ucapin hari minggu. Seneng, akhirnya dia ngucapin. Keesokan harinya keadaan jalan menuju kampus memang macet, saya juga kebetulan dari rumah berangkatnya dengan bapak saya, tapi tapi lewat jalan pintas. Dan katanya alm lewat jalan yang macet dan ramai orang lewat sana. Memang udah takdirnya, alm meninggal di jalan yang selalu saya lewati tiap harinya. Awalnya saya shock saat pulang kampus, lagi di jalan menuju pulang, ada sms masuk berkali-kali, dikira saya cuma sm dari operator. Gak lama, ada telepon, saya angkat tapi tetep gak kedenger, karena maklum lah lagi di jalan. Isenglah saya, liat sms begitu dibaca "Nov, ane meninggal, kecelakaan. " shock kan?  Saya pengen cepet tiba di rumahnya saat itu. Saya gak bisa bendung rasa sedih saya sepanjang jalan. Saat tiba di sana pun memang gak berhenti nangis. Keesokan harinya memang saya nyesek pas liat fotonya sama alm, saya sakit waktu itu(bukan lebay, tapi memang seperti ini kenyataannya). Nyesek, panas, pilek dan pusing setelah ditinggalkan alm. Mungkin memang saya terlalu gak bisa terima kenyataan saat itu.
Yang paling bikin sesek, pas alm pengen jalan-jalan bareng di minggu setelah dia meninggal. Alm juga pengen kumpul sama anak IPMA(pelajar Masjid)  secara kumplit, alm yang bilang sendiri ke saya, dan minta ke saya buat ngajak anak-anak yang lain kumpul, tapi saya gak mau dan minta dia sendiri ngajak yang lain. Tapi ajal terlanjur menghampiri, akhirnya Anak IPMA bisa berkumpul semua ternyata, tapi mirisnya di saat alm meninggal. Sesek, sakit dan memang kesel karena gak bisa nurutin kemauannya. Oleh karena itu, hikmah dari kisah saya ini, jika kalian masih punya sahabat, sempatkanlah berkumpul atau berkomunikasi, sempatkansempatkanlah. Tak selamanya kau sibuk bukan?  Kau akan merasakan sesal jika telah terjadi seperti ini.

Sosiologi Dakwah :Pendekatan Dakwah Masyarakat Transisi

MASYARAKAT TRANSISI
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Sosiologi Dakwah
Dosen Pengampu : Rohmanur Aziz,S.Sos.I., M.Ag.






Disusun Oleh :
Miftahudin Kautsar A 1164010092
Mohamad Syujaie 1164010095
Muhamad Iqbal Abdulah 1164010098
Muhammad Faruq F 1164010101
Muhammad Haziq 1164010102
Neneng Khopidoh 1164010107
Novia Fauziyah K S 1164010113
Nurhasanah Siti Jamilah 1164010116
Puspita Anisatul F 1164010122
Rena Rostini 1164010128
Rezka Puspitasari 1164010130


JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2017
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang telah mencurah limpahkan rahmat dan inayah-Nya kepada kami sehingga kami bisa menyelesaikan tugas ini dengan baik. Tak lupa, sholawat serta salam semoga selalu terlimpah curah kepada junjunan Nabi besar Muhammad SAW. Kami bersyukur akhirnya makalah ini dapat terselesaikan dengan baik walaupun kami mengetahui pasti banyak kekurangan di dalamnya.
Makalah kami kali ini dibuat untuk memenuhi tugas terstruktur dari mata kuliah Sosiologi Dakwah yang diampu oleh Bapak Rohmanur Aziz, S.Sos.I., M.Ag., berkat beliau kami bisa menggali lebih dalam mengenai Masyarakat Transisi dan hubungannya dengan Sosiologi Dakwah. Selesainya makalah kami kali ini tak lepas dari bantuan berbagai buku yang telah kami baca, beserta makalah-makalah yang ada di internet dengan patokan-patokan yang telah disampaikan oleh dosen kami. Untuk itu kami sangat berterimakasih pada rekan-rekan dan pihak lain yang telah membantu kami menyelesaikan tugas ini.
Di balik itu semua, kami menyadari bahwa banyak kesalahan yang terdapat di dalam makalah ini, baik itu dari segi materi, tata bahasa maupun struktur kepenulisan. Oleh karena itu, kami sangat menerima berbagai saran maupun pendapat dari pembaca semua agar kami bisa membuat makalah yang lebih baik lagi kedepannya.
Akhir kata, kami berharap semoga makalah ini dapat menginspirasi dan juga bermanfaat bagi pembaca semua, dan khususnya dapat bermanfaat bagi penulis pula. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.
Bandung, 10 Mei 2018

Tim Penyusun




DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I  PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Penulisan 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Karakteristik Masyarakat Transisi 3
B. Adat dan Budaya pada Masyarakat Transisi 3
C. Perbedaan antara Masyarakat Tansisi dengan Tradisional dan Modern 5
D. Permasalahan pada Masyarakat Tansisi 12
E. Pendekatan Dakwah terhadap Masyarakat Transisi 13
F. Cara Berdakwah terhadap Masyarakat Transisi 18
BAB III  PENUTUP
A. Kesimpulan 22
B. Saran 23
DAFTAR PUSTAKA



BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Masyarakat bisa terbentuk karena adanya interaksi sosial diantara manusia, karena memang manusia yang membentuk masyarakat itu sendiri dari dua karakter yaitu sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa adanya bantuan dari manusia lainnya. Dan kalau dalam agama Islam ada dua bentuk hubungan manusia yaitu hablumminallah dan hablumninannaas. Hablumminallah artinya hubungan vertikal manusia kepada sang pencipta-Nya yaitu Allah SWT yang salah satunya diwujudkan dalam bentuk ibadah ritual seperti sholat dan sebagainya. Sedangkan hablumminannaas adalah hubungan horizontal sesama manusia karena manusia termasuk zoon politicon (makhluk sosial).
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat dunia, yang berarti pula eksistensi masyarakat Indonesia baik langsung maupun tidak langsung sangat membutuhkan masyarakat dunia. Karena memang bangsa Indonesia ini tidak akan bisa membangun tanpa adanya bantuan dari negara lain. Disamping masyarakat Indonesia dikatakan sebagai bagian dari masyarakat dunia karena perkembangan global dunia selalu menembus ke pelosok dunia tanpa terkecuali negara yang bernama Indonesia ini.
Keterlibatan masyarakat Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung ikut andil dalam mengikuti perkembangan dunia, terutama jika dilihat dari segi kemajuan teknologi informasi. Karena memang secara tidak langsung bangsa Indonesia ikut memakmurkan industri-industri negara maju, sebagai contoh pemanfaatan alat elektronik dalam hal ini komputer, laptop, HP dan bahkan internet dengan segala kemauan dunia mayanya.
Dewasa ini, perkembangan teknolgi dan media internet melaju dengan sangat cepat. Kian hari jumlah pengguna internet semakin bertambah. Menurut perwakilan badan telekomunikasi PBB Hamadoun Toure, jumlah pengguna internet pada tahun 2011 telah mencapai dua milyar pengguna. Salah satu fasilitas yang ada di dalam internet adalah email, yaitu suatu sarana yang digunakan untuk mengirim dan menyampaikan pesan kepada pengguna internet lainnya dimana pun berada. Dan memang saat ini email banyak digunakan masyarakat Indonesia untuk berbagi informasi kepada user lainnya sehingga dunia sekarang ini tidak bisa lepas dari infrastruktur informasi. Oleh sebab itu, hal ini di kaji dari sudut pandang masyarakat informasi.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu Masyarakat Transisi dan Karakteristiknya?
2. Bagaimana Adat dan Budaya pada Masyarakat Transisi?
3. Apa saja perbedaan antara masyarakat Transisi, Tradisional, dan Modern?
4. Apa saja permasalahan pada Masyarakat Transisi?
5. Pendekatan dakwah yang seperti apa saja yang bisa diaplikasikan kepada Masyarakat Transisi?
6. Bagaimana cara berdakwah pada masyarakat transisi?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui apa itu Masyarakat Transisi dan Karakteristiknya
2. Untuk mengetahui Adat dan Budaya pada Masyarakat Transisi
3. Untuk mengetahui mengenai perbedaan antara masyarakat Transisi, Tradisional, dan Modern
4. Untuk memahami permasalahan yang terjadi pada Masyarakat Transisi
5. Untuk memahami Pendekatan dakwah yang seperti apa saja yang bisa diaplikasikan kepada Masyarakat Transisi
6. Untuk mengetahui cara berdakwah pada masyarakat transisi







BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN DAN KARAKTERISTIK MASYARAKAT TRANSISI
1. Pengertian
Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Kata "masyarakat" sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, musyarak.
Masyarakat transisi adalah masyarakat yang mengalami perkembangan dari situasi yang awalnya tradisional dan secara berangsur-angsur sudah mulai mengalami perkembangan kehidupan baik dalam tatanan sosial maupun struktur sosial.
Masyarakat transisi pun dapat dikatakan sebagai masyarakat yang mengalami perubahan dari suatu masyarakat ke masyarakat yang lainnya. Misalnya masyarakat pedesaan yang mengalami transisi ke arah kebiasaan kota, yaitu pergeseran tenaga kerja dari pertanian, dan mulai masuk ke sektor industri.
2. Karakteristik Masyarakat Transisi
a. Kehidupan masyarakatnya sudah berubah dari situasi  yang tadinya tradisional
b. Sudah mengenal pembangunan
c. Alat yang di pakai dalam kehidupan sehari-hari sudah agak berjual beli mahal
d. Kebudayaanya sudah baru
e. Sudah mengenal kesejahteraan hidup
f. Struk sosialnya mengalami perobahan
g. Daya fakir individu yang mengarah pada tujuan hidup yang sejahtera
h. Jalur akses perdagangan dan jalan wilayah mereka sudah akses cepat
i. Dalam pemenuhan kebutuhan dan kehidupan mereka tidak dikatakan kuno lagi.

B. ADAT DAN BUDAYA PADA MASYARAKAT TRANSISI
Setiap masyarakat mempunyai kebudayaan tersendiri, kebudayaan masyarakat transisi sudah mulai berkembang, mereka sudah berangsur-angsur meninggalkan kepercayaan yang di pegang oleh nenek moyang mereka yang menyembah sesuatu yang tidak rasional, mereka sudah mulai tidak percaya kepada mitosbahkan kebudayaan yang bersipat seni mereka lestarikan dan jika perlu mereka memperkenalkan kedaerah lain agar mereka mempunyai identitas diri. Di samping itu masyarakat ini peka dan terbuka sekali terhadap hal-hal .
Geografi dan histori berpengaruh pada sosial budaya sikap mental dan tingkah laku manusia (indonesia), adat atau tradisi (aneka ragam). Begitu cepatnya pengaruh budaya asing tersebut menyebabkan terjadinya goncangan budaya(culture shock), yaitu suatu keadaan dimana masyarakat tidak mampu menahan berbagai pengaruh  kebudayaan yang datang dari luar sehingga terjadi ketidakseimbangan dalam kehidupan masyarakat yang bersangkutan.Adanya penyerapan unsur budaya luar yang di lakukan secara cepat dan tidak melalui suatu proses internalisasi yang mendalam dapat menyebabkan terjadinya ketimpangan antara wujud yang di tampilkan dan nilai-nilai yang menjadi landasannya atau yang biasa disebut ketimpangan budaya. Masyarakat transisi hingga telah memiliki adat atau kebiasaan tersendiri, dan berkurangnya adat atau kebiasaan di masyarakat, seperti :
1. Nilai solidaritas , gotong royong di masyarakat sebagai potret solidaritas di sosial masyarakat. Secara sederhana mempunyai arti kerja sama secara suka rela antar individu atau kelompok yang membuat bentuk norma saling percaya dalam menangani permasalahan yang menangani kepentingan bersama. Solidaritas masyarakat transisi walaupun sudah berubah kekota-kotaan akan tetapi masih ada sedikit rasa kekerabatan.
2. Adat ritual (kepercayaan), dahulu masyarakat masih mempercayai ritual di masa nenek moyang,  seperti sesajen,  persembahan,  dan lain sebagainya.  Namun seiring berjalannya perkembangan, masyarakat mulai meninggalkan ritual seperti itu sedikit demi sedikit.
3. Adat berbusana,  dengan masuknya kebudayaan asing dari berbagai negara, sehingga membuat perubahan di masyarakat kota maupun masyarakat pedesaan, begitupun pada masyarakat transisi. 
4. Perubahan profesi, peralihan pekerjaan seperti,  dari pertanian ke perindustrian.
5. Perubahan teknologi, teknologi berkembang seiring berjalannya zaman,  hingga perkembangan teknologi masuk ke dalam masyarakat pedesaan,  contohnya seperti pertanian yang biasanya menggunakan kerbau untuk membajak sawahnya,  namun sudah beralih menjadi dengan traktor sebagai alat teknologi untuk membajak sawah para petani.

C. PERBEDAAN MASYARAKAT TRANSISI, TRADISIONAL, DAN MODERN
Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Kata "masyarakat" sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, musyarak. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur.
Menurut Syaikh Taqyuddin An-Nabhani, sekelompok manusia dapat dikatakan sebagai sebuah masyarakat apabila memiliki pemikiran, perasaan, serta sistem/aturan yang sama. Dengan kesamaan-kesamaan tersebut, manusia kemudian berinteraksi sesama mereka berdasarkan kemaslahatan.
Masyarakat sering diorganisasikan berdasarkan cara utamanya dalam bermata pencaharian. Pakar ilmu sosial mengidentifikasikan ada: masyarakat pemburu, masyarakat pastoral nomadis, masyarakat bercocoktanam, dan masyarakat agrikultural intensif, yang juga disebut masyarakat peradaban. Sebagian pakar menganggap masyarakat industri dan pasca-industri sebagai kelompok masyarakat yang terpisah dari masyarakat agrikultural tradisional.
Masyarakat dapat pula diorganisasikan berdasarkan struktur politiknya: berdasarkan urutan kompleksitas dan besar, terdapat masyarakat band, suku, chiefdom, dan masyarakat negara.Kata society berasal dari bahasa latin, societas, yang berarti hubungan persahabatan dengan yang lain. Societas diturunkan dari kata socius yang berarti teman, sehingga arti society berhubungan erat dengan kata sosial. Secara implisit, kata society mengandung makna bahwa setiap anggotanya mempunyai perhatian dan kepentingan yang sama dalam mencapai tujuan bersama.
1. Masyarakat Transisi
a. Pengertian Masyarakat Transisi
Masyarakat transisi adalah masyarakat yang mengalami perkembangan dari situasi yang awalnya tradisional dan secara berangsur-angsur sudah mulai mengalami perkembangan kehidupan baik dalam tatanan sosial maupun struktur sosial. Masyarakat transisi mengalami perubahan dari suattu masyarakat ke masyarakat yang lainnya. Misalnya masyarakat pedesaan yang mengalami transisi ke arah kebiasaan kota, yaitu pergeseran tenaga kerja dari pertanian, dan mulai masuk ke sektor industri.
Masyarakat transisi pun dapat dikatakan sebagai masyarakat yang mengalami perubahan dari suatu masyarakat ke masyarakat yang lainnya. Misalnya masyarakat pedesaan yang mengalami transisi ke arah kebiasaan kota, yaitu pergeseran tenaga kerja dari pertanian, dan mulai masuk ke sektor industri.
Dalam masyarakat terjadi yang namanya proses dinami ssehingga dapat di katakana masyarakat tidak bisa di mengerti. Perubahan ini di sebabkan adanya keinginan dari setiap individu ataupun sekelompok orang yang ingin berubah dan telah mengalami perkembangan pemikiran kearah yang lebih baik. Perubahan itu bias dilihat dari struktur sosialnya, sikap dan perilaku serta cara pandang mereka dalam menafsirkan sesuatu. Kehidupan mereka belum dikatakan modern tapi kehidupan mereka mengarah kepada modern, bukan tidak mungkin bila suatu saat mereka mengalami kehidupan modern.
Dari segi pembangunan, masyarakat ini belum mempunyai banyak gedung-gedung mewah seperti masyarakat modern dan mall-mall tempat rekreasi belum begitu banyak, yang mengalami perubahan di bentuk bangunan pemerintahannya saja dan pada tempat umumnya hanya sebagian kecil, tapi dari pusat perdagangan masyarakat ini sudah mampu memenuhi kebutuhan pokoknya dan mampu mengadakan hubungan perdagangan dengan daerah lain untuk memasok makanan atau kebutuhan guna memenuhi kehidupan mereka.
Setiap masyarakat mempunyai kebudayaan tersendiri, kebudayaan masyarakat transisi sudah mulai berkembang, mereka sudah berangsur-angsur meninggalkan kepercayaan yang di pegang oleh nenek moyang mereka yang menyembah sesuatu yang tidak rasional, mereka sudah mulai tidak percaya kepada mitosbahkan kebudayaan yang bersipat seni mereka lestarikan dan jika perlu mereka memperkenalkan kedaerah lain agar mereka mempunyai identitas diri. Di samping itu masyarakat ini peka dan terbuka sekali terhadap hal-hal baru (W.B Werteim,1999:31).
Hubungan kelompok masyarakat transisi terhadap kelompok masyarakat lain memiliki pola yang tidak pasti. Banyak masyarakat transisi yang masih mengedepankan kehidupan social yang lama , (yakni sesuai dengan hubungan kelompok masyarakat desa), namun banyak juga masyarakat transisi yang sudah mulai meninggalkan pola hubungan masyarakat desa dan berpindah pada pola hubungan masyarakat perkotaan.
 Pola hubungan masyarakat desa ditentukan oleh  nilai, adat , kebiasaan , serta  budaya tertentu, seperti nilai gotong royong , nilai saling mengenal, budaya berinteraksi , kebiasaan menunggu, kebiasaan saling bergantung , adat ritual, dan sebagainya. Sedangkan masyarakat kota hubungan sosialnya lebih di tentukan oleh kepentingan profesi dan sebagaian besar tidak terikat oleh nilai dan budaya tertentu  sehingga masyarakat kota memiliki sikap individual yang tinggi, kurang mengenal satu sama lain,di penuhi rasa kecurigaan , suka menerobos, mudah tersinggung, nostalgia dan sebagainya.
  Masyarakat transisi umumnya memiliki hubungan social yang mengadopsi dari kota dan desa yakni suka menerobos,mudah tersinggung,nostalgia, kurang memperhatikan adat dalam bergaul, sikap individual mulai menonjol, dalam mencapai tujuan bersama kurang menjunjung etika gotong royong, rasa saling membutuhkan satu sama lain mulai memudar dan mereka mulai kehilangan nilai dan norma yang asli.
Contoh dari masyarakat transisi yaitu masyarakat yang tinggal di suatu desa yang mengalami kemajuan serta perubahan sehingga desa tersebut mangalami proses perubahan dari desa menjadi kota.
b. Ciri-ciri Masyarakat Transisi
Ciri-ciri masyarakat transisi adalah:
1) Adanya pergeseran dalam bidang, misalnya pekerjaan, seperti pergeseran dari tenaga kerja pertanian ke sektor industri
2) Adanya pergeseran pada tingkat pendidikan. Di mana sebelumnya tingkat pendidikan rendah, tetapi menjadi sekarang mempunya tingkat pendidikan yang meningkat, dan daya pikir individu yang mengarah pada tujuan hidup yang sejahtera.
3) Mengalami perubahan ke arah kemajuan
4) Masyarakat sudah mulai terbuka dengan perubahan dan kemajuan jaman.
5) Tingkat mobilitas masyarakat tinggi.
6) Biasanya terjadi pada masyarakat yang sudah memiliki akses ke kota misalnya jalan raya.
7) Kehidupan masyarakatnya sudah berubah dari situasi  yang tadinya tradisional
8) Sudah mengenal pembangunan
9) Alat yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari sudah agak berjual beli mahal
10) Kebudayaannya sudah baru
11) Sudah mengenal kesejahteraan hidup
12) Struktur sosialnya mengalami perubahan
13) Jalur akses perdagangan dan jalan wilayah mereka sudah akses cepat.

2. Masyarakat Tradisional
a. Pengertian Masyarakat Tradisional
Masyarakat tradisional adalah masyarakat yang kehidupannya masih banyak dikuasai oleh adat istiadat lama. Adat istiadat adalah suatu aturan yang sudah mantap dan mencakup segala konsepsi sistem budaya yang mengatur tindakan atau perbuatan manusia dalam kehidupan sosialnya. Jadi, masyarakat tradisional di dalam melangsungkan kehidupannya berdasarkan pada cara-cara atau kebiasaan-kebiasaan lama yang masih diwarisi dari nenek moyangnya. Kehidupan mereka belum terlalu dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yang berasal dari luar lingkungan sosialnya. Kebudayaan masyarakat tradisional merupakan hasil adaptasi terhadap lingkungan alam dan sosial sekitarnya tanpa menerima pengaruh luar. Jadi, kebudayaan masyarakat tradisional tidak mengalami perubahan mendasar. Karena peranan adat-istiadat sangat kuat menguasai kehidupan mereka.
Masyarakat tradisional adalah masyarakat yang mengalami pergeseran ciri-ciri lokalnya dengan melebarnya batas-batas interaksi dan ilmu pengetahuan lainnya dan masih menggunakan alat-alat teknologi yang yang sederhana, pola pemikiran mereka belum dipengaruhi bentuk teknologi canggih dengan sistem pendidikan di sekolah-sekolah. Hal ini dapat dijumpai pada daerah-daerah pedalaman di Indonesia. Mereka menggunakan dongeng sebagai sarana penting untuk menjelaskan eksistensi dan intensitas diri serta kelompok sosialnya. Dongeng tidak saja sebagai pengetahuan tentang dunia dan mengungkapkan gagasan atau ide-ide dan nilai-nilai, melainkan memahamkan dunia kepada orang lain dan mewariskan nilai-nilai tersebut secara turun-temurun generasi ke generasi.
Masyarakat tradisional sebenarnya telah mengalami shock cultural setelah mengenal hal-hal baru dari luar komunikasinya. Ini dapat disaksian pada pemberian nama anak yang sudah lepas dari budaya lokalnya, cara berpakaian dan penggunaan bahasa. Ini ada upaya untuk mengiterpretasikan diri dengan masyarakat lain yang dianggap maju, sehingga ikatan-ikatan tradisional mengalami perubahan bebas kontrol, sehingga  ikatan-ikatan tradisional dan lembaga-lembaga adapt mulai melemah karna mulai diganti oleh kebebasan untuk memilih dan mengambil keputusan secara individu.
Masyarakat tradisional hidup di daerah pedesaan yang secara geografis terletak di pedalaman yang jauh dari keramaian kota. Masyarakat ini dapat juga disebut masyarakat pedesaan atau masyarakat desa. Masyarakat desa adalah sekelompok orang yang hidup bersama, bekerja sama, dan berhubungan erat secara tahan lama, dengan sifat-sifat yang hampir seragam. Istilah desa dapat merujuk pada arti yang berbeda-beda, tergantung dari sudut pandangnya. Secara umum desa memiliki 3 unsur, yaitu:
1)   Daerah dan letak, yang diartikan sebagai tanah yang meliputi luas, lokasi dan batas-batasnya yang merupakan lingkungan geografis;
2)   Penduduk; meliputi jumlah, struktur umur, struktur mata pencaharian yang sebagian besar bertani, serta pertumbuhannya
3)  Tata kehidupan; meliputi corak atau pola tata pergaulan dan ikatan-ikatan warga desa. 
b. Ciri-ciri Masyarakat Tradisional
Dalam buku Sosiologi karangan Ruman Sumadilaga seorang ahli Sosiologi “Talcot Parsons” menggambarkan masyarakat desa sebagai masyarakat tradisional (Gemeinschaft) yang mengenal ciri-ciri sebagai berikut :
1) Afektifitas ada hubungannya dengan perasaan kasih sayang, cinta , kesetiaan dan kemesraan. Perwujudannya dalam sikap dan perbuatan tolong menolong, menyatakan simpati terhadap musibah yang diderita orang lain dan menolongnya tanpa pamrih.
2) Orientasi kolektif sifat ini merupakan konsekuensi dari Afektifitas, yaitu mereka mementingkan kebersamaan , tidak suka menonjolkan diri, tidak suka akan orang yang berbeda pendapat, intinya semua harus memperlihatkan keseragaman persamaan.
3) Partikularisme pada dasarnya adalah semua hal yang ada hubungannya dengan keberlakuan khusus untuk suatu tempat atau daerah tertentu. Perasaan subyektif, perasaan kebersamaan sesungguhnya yang hanya berlaku untuk kelompok tertentu saja.(lawannya Universalisme)
4) Askripsi yaitu berhubungan dengan mutu atau sifat khusus yang tidak diperoleh berdasarkan suatu usaha yang tidak disengaja, tetapi merupakan suatu keadaan yang sudah merupakan kebiasaan atau keturunan.(lawannya prestasi).
5) Kekabaran (diffuseness). Sesuatu yang tidak jelas terutama dalam hubungan antara pribadi tanpa ketegasan yang dinyatakan eksplisit. Masyarakat desa menggunakan bahasa tidak langsung, untuk menunjukkan sesuatu. Dari uraian tersebut (pendapat Talcott Parson) dapat terlihat pada desa-desa yang masih murni masyarakatnya tanpa pengaruh dari luar.
Selain karakteristik masyarakat tradisional di atas, adapula beberapa ciri-ciri masyarakat tradisional yang diantaranya adalah:
1) Tingkat perkembangan iptek rendah sehingga produksi barang dan jasa juga rendah.
2) Jumlah anggota relative kecil.
3) Tingginya buta hurup.
4) Pembagian kerja dan spekulasi sederhana.
5) Sedikit sekali diperensiasi sosial.
6) Tidak banyak beorganisasi dalam kebudayaan.
7) Memiliki orde atau aturan yang sama.
8) Hidup terpisah jauhdari keramaian.
9) Kehidupan social besipat statis.
10) Kehidupan lebih cenderung tertutup dan bergantung pada alam dan nasib.
11) Takut dengan hal-hal baru yang belum mereka kenal.
12) Percaya  kapada tahayul  atau hal yang berbau mistik.
Dengan adanya ciri-ciri itu dapat  membedakan antara satu karakter manusia yang hidup dalam suatu masyarakat yang tidak di punyai oleh masarakat yang tidak termasuk kedalam masyarakt tradisional (W.B Werteim,1999:25).

3. Masyarakat Modern
a. Pengertian Masyarakat Modern
Masyarakat modern adalah masyarakat yang menempatkan mesin dan teknologi pada posisi yang sangat penting dalam kehidupannya sehingga mempengaruhi ritme kehidupan dan norma-norma. Hubungan antar orang telah digantikan dengan kehadiran media dan barang-barang elektronik. Dalam sebuah keluarga modern, bisa jadi anak bukan merupakan pewaris tradisi keluarganya, tetapi dia mewakili tradisi yang jauh lebih besar yang datang dari negara maju, seperti Amerika atau Jepang. Hal itu terjadi karena pusat pembentukan karakter dan orientasi anak tidak lagi pada orang tua, tetapi pada pusat-pusat kekuasaan baru yang mengendalikan system social dan moral, seperti televisi, internet, dan handphone.
Di suatu tempat di mana penduduknya berasal dari daerah-daerah yang di kawasan perkotaan, masyarakat modern bercorak multietnis. Mereka mengalami problematika dalam interaksi social karena bermukim berbeda. Tiap-tiap orang memiliki masalalu yang berbeda-beda dan ikatan-ikatan tradisional cenderung tidak berlaku karena pengalaman tradisional antaretnis tidak dapat dikomunikasikan. Dengan demikian, masyarakat modern membutuhkan simbol universal dari tata nilai yang pernah diimajinasikan bersama.
b. Ciri-ciri Masyarakat Modern
Ciri-ciri masyarakat kota yang bisa dikatakan sebagai ciri masyarakat modern menurut Talcott Parson antara lain :
1) Netralitas efektif, memperhatikan sikap netral, mulai sikap acuh tak acuh sampai tidak memperdulikan jika menurut pendapatnya tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan pribadinya.
2) Orientasi diri, menonjolkan kepentingan pribadi dan tidak segan-segan menentang jika dirasa tidak cocok atau diasakan melanggar kepentingannya
3) Universalisme, berpikir objektif, menerima segala sesuatu secara objektif
4) Prestasi, suka mengejar prestasi, karena prestasi mendorong orang terus maju.
5) Spesifitas, menujukkan sesuatu yang jelas dan tegas dalam hubungan antara pribadi, maksudnya niat dinyatakan secara langsung
Ada beberapa ciri masyarakat modern lainnya yang membedakan dengan masyarakat transisi dan tradisional adalah:
1) Hubungan antar manusia dilakukan atas kepetingan bersama.
2) Hubungan dengan masyarakat dilakukan secara terbuka dan saling mempengaruhi.
3) Percaya kepada iptek yang membawa kesejahteraan masyarakat.
4) Masyarakat digolongkan menurut profesi dan keahlian.
5) Tingkat pendidikan tinggi dan merata.
6) Hukum yang berlaku adalah hukum yang tertulis.
7) Ekonomi yang di gunakan adalah ekonomi pasar dengan menggunakan uang sebagai  alat tukarnya (W.B Werteim,1999:28).
Pembangunan  pada masyarakat modern sudah berdiri bangunan mewah yang serba dilengkapi dengan kemudahan kebutuhan dan fasilitas. Gedung-gedung rekreasi sudah menjadi modern dalam kehidupan sehari-hari yang membudaya pada masyarakat yang luas dan kehidupan mereka yang disekitar mereka dihadiri dengan kemewahan dan  barang-barang yang serba butuh keahlian untuk memakainya.

D. PERMASALAHAN PADA MASYARAKAT TRANSISI
Suatu pola sistem kehidupan transisi, senantiasa ditandai oleh adanya gejala kekurangan serasian, disebabkan terdapatnya pranata sosial lama yang masih hidup serta menghadapi pranata sosial yang baru yang belum banyak terserap dan terpahami manfaatnya secara tuntas. Pada masyarakat yang mengalami transisi, masyarakat itu sendiri akan mudah terjepit antara norma-norma lama dengan norma-norma baru (yang kadang-kadang belum terbentuk).
Fenomena yang terjadi dalam masyarakat kita ini, kita sebut jual beli suasana karena ada perubahan transformasi. Proses transformasi itu dlangsungkan bisa karena memang kita sungguh-sungguh perlu mengembangkan diri. Tetapi bisa juga karena latah, memanjangkan naluri epigonisme budaya, mengejar gengsi, atau bisa jadi untuk menutupi rasa inferoritas etnik di tengah apa yang kita sangka supermasi dunia budaya internasional. Yang jelas transformasi budaya itu tidak harus merupakan peralihan dari tradisional menuju modernitas, bisa jadi yang berlangsung sebaliknya.
Akibatnya kehidupan masyarakat sudah berubah situasinya khususnya pada kebudayaannya.
a. Bentuk kesenian tradisional semakin terdesak oleh kesenian modern
b. Bentuk peralatan tradisional semakin terdesak oleh peralatan modern
c. Kerja fisik manusia semakin berkurang karena diganti nya dengan mesin
d. Lahirnya sikap idividulalis, materialisme dan sikap hidup mewah dalam kehidupan sosial, terutama bagi masyarakat yang sukses dalam bidang ekonomi
e. Semakin pudarnya prinsip-prinsip kekeluargaan dalam kehidupan bermasyarakat.
f. Hilangnya nilai-nilai hidup ruhaniah
g. Hasil pembangunan yang belum dapat dinikmati secara menyeluruh dan merata oleh rakyat berakibat terjadinya kesenjangan sosial antara orang yang berhasil dan orang yang tidak atau belum berhasil,
Permasalahan yang menyangkut masyarakat transisi juga akan muncul dampak kenakalan remaja, karenta nilai serta norma yang lama sebagai demografi dari usia masyarakat tentunya membuat adopsi budaya yang berasal dari luar dan hal ini tentu membuat budaya sendiri menjadi terabaikan.
Oleh karena itu, nilai dan norma yang baru dan terbentuk di masyarakat tentu akan mengurangi eksistensi dari nilai da norma yang lebih dahulu ada. Nilai dan norma yang semakin ditinggalkan tersebut  dikarenakan tidak lagi sesuai dengan perkembangan jaman yang ada. Hal ini lah yang membuat kebudayaan lama semakin menghilang perlahan. Padahal kebudayaan nasional sebagai jati diri bangsa, suatu bangsa yang hilang identitas jati dirinya akan terombang ambing dalam menghadapi tantangan yang dihadapi oleh bangsanya.
E. PENDEKATAN DAKWAH TERHADAP MASYARAKAT TRANSISI
Untuk mencapai tujuan dakwah dimanapun berada, sangat perlu untuk diterapkannya pendekatan. Begitu pula pada masyarakat transisi. Tak jauh beda dari masyarakat daerah lainnya, masyarakat transisi pun perlu diterapkan pendekatan agar bisa merubah keadaan daerah.
Sebagai syarat mutlak kesempurnaan dan keselamatan hidup masyarakat. Pendekatan dakwah model ini meliputi: pendekatan sosial –politik, pendekatan sosial-budaya, pendekatan sosial-ekonomi, dan pendekatan sosial-psikologi, lalu di sederhanakan dua pendekatan yaitu pendekatan dakwah struktural dan pendekatan dakwah kultural. Pendekatan strktural atau pendekatan politik. Harus ada para politikus dalam legislatif yang berjuang membuat undang- undang yang menjamin kehidupan yang lebih islami. Dan pendekatan kultural atau sosial-budaya dengan membangun moral masyarakat, memberikan pendidikan yang memadai untuk membentuk sumber daya manusia yang berkualitas dan sebagainya. Pendekatan dakwah dapat dibagi menjadi dua bentuk, yaitu:
1. Pendekatan Sosial
Pendekatan ini didasarkan atas pandangan bahwa penerima/mitra dakwah adalah manusia yang bernaluri sosial serta memiliki keterkaitan dan ketergantungan dengan orang lain. Interaksi sosial manusia ini meliputi semua aspek kehidupan yaiu interaksi budaya, pendidikan, politik, dan ekonomi. Oleh karena itu, pendekatan sosial ini meliputi:
a. Pendekatan Pendidikan
Pendidikan merupakan kebuuhan dan sekaligus tuntutan masyarakat, baik pendidikan formal, nonformal, maupun informal. Lembaga-lembaga pendidikan peranannya dalam pembentukan kecerdasan yang bersangkutan, kedewasaan wawasan serta pembentukan manusia moralis yang berakhlakul karimah sebagai objek maupun subjek pembangunan manusia seutuhnya.
b. Pendekatan Budaya
Setiap masyarakat memiliki budaya sebagai karya mereka sekaligus sebagai pengikat kebutuhan mereka. Para wali songo, yang memandang bangsa Indonesia dengan budaya yang tinggi secara tepat menggunakan budaya dalam dakwahnya, dan ternyata membawa hasil.


c. Pendekatan Politik
Banyak hal yang tidak dapat diselesaikan dengan pendekatan lain kecuali dengan pendekatan politik, melalui kekuasaan. Bahkan hadis Nabi secara khusus memerintahkan amr ma’ruf nahi munkar dengan‚fal yug{oyyir biyaadihi‛ artinya melakukan nahi munkar tersebut dengan kekuasaan (politik) pada penguasa.
d. Pendekatan Ekonomi
Ekonomi termasuk kebutuhan asasi dalam kehidupan setiap manusia. Kesejahteraan ekonomi memang tidak menjamin suburnya kehidupan keimanan seseorang, akan tetapi sering kali kekafiran akan membawa seseorang pada kekufuran, adalah merupakan realitas yang banyak kita temukan. Pendekatan ekonomis dalam pelaksanaan dakwah pada masyarakat yang minus ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan hidup atau disebut dengan dakwah bil hal mutlak dilakukan sebagai pendukung stabilitas keimanan dan kontinuitas ibadah masyarakat.
2. Pendekatan Psikologis
Pendekatan ini meliputi dua aspek, yaitu:
a. Citra pandang dakwah terhadap manusia sebagai makhluk yang memiliki kelebihan dibanding dengan makhluk lainnya. Oleh karena itu, mereka harus dihadapi dengan pendekatan persuasif, hikmah, dan kasih sayang.
b. Realita pandang dakwah terhadap manusia yang disamping memiliki beberapa kelebihan, ia juga memiliki berbagai macam kekurangan dan keterbatasan. Ia sering kali mengalami kegagalan mengomunikasikan dirinya ditengah-tengah masyarakat sehingga terbelenggu dalam lingkaran problem yang mengggangu jiwanya.
Oleh karena itu dakwah harus memandang setiap mitra dakwah sebagai manusia dengan segala problematikanya. Pendekatan psikologis ini terutama bagi mereka yamg memerlukan pemecahan masalah rohani, baik dengan bimbingan dan penyuluhan maupun dengan metode-metode yang lain.
Terdapat dua pendekatan dakwah yaitu pendekatan dakwah yang terpusat pada pendakwah dan pendekatan dakwah yang terpusat pada mitra dakwah. Pendektan terpusat pada pendakwah menurut unsur-unsur dakwah lainnya menyesuaikan atau bekerja sesui dengan kemampuan pendakwah; pesan dakwah manakah yang mampu di gunakan oleh pendakwah; media dakwah manakah yang mampu dimanfaatkan pendakwah. Pendekatan yang kedua yaitu pendekatan terpusat pada mitra dakwah memfokuskan unsur-unsur dakwah pada upaya penerimaan mitra dakwah.
Kewajiban pendakwah adalah menyampaikan pesan pendakwah hingga mitra dakwah memahaminya (al-balagh al-mubin). Aspek kognitif (pemahaman) mitra dakwah terhadap pesan dakwah lebih ditekankan daripada aspek efektif (sikap) dan psikomotorik (tingkah laku) mereka. Targetnya adalah kelangsungan berdakwah.
Hukum berdakwah adalah fardlu’ain artinya setiap muslim wajib berdakwah sesuai dengan kemapuannya masing-masing, pendekatan dakwah yang terpusat pada mitra dakwah berupa mengubah keagamaan mitra dakwah. Tidak hanya pada tingkatan pemahaman, tetapi lebih dari itu, yaitu mengubah sikap dan perilaku mitra dakwah. Pendekatan dakwah dibagi menjadi 3 yaitu: pendekatan budaya, pendekatan pendidikan dan pendekatan psikologis. Pendekatan dakwah dengan budaya harus memperhatikan kebiasaan dan adat istiadat antarbudaya. Dakwah antar budaya adalah proses dakwah yang mempertimbangkan kebudayaan antar subjek dakwah dan objek dakwah dan keragaman penyebab terjadinya gangguaninteraksi pada tingkat intra dan antarbudaya agar pesan dakwah dapat tersampaikan dengan tetap terpeliharanya situasi damai. Dimana pendekatan dakwah ini di gunakan agar mencerdaskan dan cencerahan masyarakat, membangun masyarakat, juga peningkatan sosial budaya masyarakat sebagain pentransformasian dan pelembagaan masyarakat.
Dalam syarah imam Nawawi dijelaskan, bahwa yang disebut dengan kemungkaran adalah segala sesuatu yang dilarang oleh syari’at, ada juga yang mengatakan kemungkaran adalah segala sesuatu yang dipandang buruk menurut syara' dan akal. kemungkaran yang harus diubah adalah kemungkaran yang terlihat oleh mata. Jika tidak terlihat oleh mata namun diketahui, maka ini termasuk dalam pembahasan ini. Kalimat ‚hendaknya ia merubahnya‛dipahami sebagai perintah wajib bagi segenap kaum muslimin. Karena di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah telah ditetapkan perintah wajib untuk amar ma’ruf nahi munkar.
Namun amar ma’ruf dan nahi munkar yang dibebankan kepada kaum muslim, jika ia telah melaksanakannya, tapi orang yang diberi peringatan tidak mau melaksanakannya, maka pemberi peringatan telah terlepas dari celaan. Allah berfirman: (QS. Al-Maidah 5:9)
“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan yang beramal saleh, (bahwa) untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”
Menegakkan amar ma’ruf nahy munkar berdasarkan penjelasan hadis riwayat sahabat Khudaifa, ada beberapa tahapan yang perlu diperhatikan dalam berdakwah. ini sesuai dengan kemampuan dan kedudukan orang yang memberi peringatan tersebut. Sebagaian ulama berpendapat bahwa merubah dengan tangan adalah kewajiban para penguasa, megubah dengan lisan adalah bagi para Ulama, dan merubah dengan hati adalah untuk seluruh orang yang beriman.
Jika seseorang masih merasa dirinya belum baik, maka bukan berarti ia harus membiarkan suatu kemunkaran yang ada dihadapannya. Jadikanlah nasihatnya itu sebagai cambuk untuknya, agar ia pun merasa malu, dan akhirnya mau melaksanakan apa yang ia perintahkan kepada orang lain.
Walaupun idealnya, orang yang memberikan nasihat itu adalah orang yang baik, yang mau menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya.
Menurut al-Faqih, syarat yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar ada 5 yaitu:
a. Mempunyai ilmu,
b. Ikhlas karena Allah,
c. Ramah dan penuh kasih sayang,
d. Sabar,
e. Ia berusaha untuk melakukan apa yang ia suruh kepada orang lain. Amar ma’ruf nahi munkar adalah kewajiban semua orang yang mengaku beriman kepada Allah dan rasul-Nya. Dunia ini akan terus tegak berdiri, semasih kita mau melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Dan kita harus berusaha memenuhi syarat-syarat di atas, agar apa-apa yang kita usahakan itu diterima dan diridhoi Allah Swt. Pelajaran yang terdapat dalam hadits :
1. Menentang pelaku kebatilan dan menolak kemunkaran adalah kewajiban yang dituntut dalam ajaran Islam atas setiap muslim sesuai kemampuan dan kekuatannya
2. Ridho terhadap kemaksiatan termasuk diantara dosa-dosa besar.
3. Sabar menanggung kesulitan dan amar ma’ruf nahi mungkar.
4. Amal merupakan buah dari iman, maka menyingkirkan kemunkaran juga merupakan buahnya keimanan.
5. Mengingkari dengan hati diwajibkan kepada setiap muslim, sedangkan pengingkaran dengan tangan dan lisan berdasarkan kemampuannya.
Jadi pendekatan dakwah adalah cara Agar dakwah lebih mudah diterima mitra dakwah, sebagai pendakwah kita harus melakukan beberapa pendekatan dakwah misalnya, sang pendakwah harus bisa memahami kondisi mitra dakwah baik itu emosi maupun keadaan kebiasaan dan kebudayaannya,setelah itu sang pendakwah bisa mengetahui kondisi mitra dakwah dan selanjutnya sang pendakwah bisa menciptakan strategi untuk menghadapi mitra dakwah.
Untuk itulah diperlukannya strategi yang pasti untuk dapat masuk dalam kehidupan mereka dan mengajarkan agama islam dengan pelan-pelan tapi pasti. Sehingga mereka dapat mengerti maksud dari makanan haram dan akibat yang ditimbulkan karena telah memakannya. Inilah kenapa begitu penting pendekatan, metode, dan taktik dakwah sebelum melakukan dakwah, apalagi terhadap orang yang awam sepeti yang dikatakan diatas.

F. CARA BERDAKWAH TERHADAP MASYARAKAT TRANSISI

Metode adalah kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan suatu kegiatan.
Dalam melakukan dakwah metode sangat diperluak agar materi atau pesan yang disampaikan kepada Mad’u bisa diterima dan direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Ketika seorang Da’i berdakwah maka ia harus menggunakan metode yang tepat sesuai dengan kondisi dari mad’u tersebut.
Menurut Sayyid Quthub metode dakwah sekurang-kurangnya menyangkut tiga hal pokok yakni: kaidah umum dalam islam, prinsip-prinsip metode dakwah dan sistem pergerakan dakwah. Sebagaimana firman Allah dalam Al-quran Surat An-nahl ayat 125.
Yang artinya: “Serulah (manusia) ke jalan tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka denga cara yang baik.Sesungguhnya tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat di jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.
Dalam ayat diatas dikatakan bahwa ada 3 metode dakwah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad, diantaranya denga hikmah,mauidzoh hasanah dan mujadil hiya ahsan.
1. Bil Hikmah
Menurut Syekh Muhammad Abduh hikmah mengetahui rahasia dari faedah segala sesuatu unsur yang tercakup dalam pelaksanaan dakwah, yaitu:isi dakwah, unsur manusia yang dihadapi,unsur kondisi (ruang dan waktu), unsur bentuk dan cara dakwah atau metode.
Dalam dunia dakwah hikmah adalah penentuan suskses atau tidaknya dakwah dalam menghadapi mad’u yang beragam tingkat pendidikan, strata sosial dan latar belakang budaya. Dalam metode Hikmah ini seorang Da’i harus mampu memahami tingkat kecerdasan dan pemahaman mad’u dari berbagai kalangan, agar pesan dakwahnya mudah diterima. Selain itu seorang Da’i tidak hanya sebatas menyampaikan pesan saja namun apa yang ia katakan itu harus selaras dengan apa yang ia lakukan, dalam artian dia juga harus mengaplikasikan dalam kehidupannya, agar mad’u bisa mengikutinya.
2. Maui’zhah Hasanah
Secara bahasa maui’zah Hasanah terdiri dari dua kata mauizhah dan Hasanah. Kata Mauizah berasal dari kata وعظ-يعظ-وعظ-عظة berarti nasihat, bimbingan, pendidikan dan peringatan sementara hasanah merupakan kebalikan dari sayyi’ah yang artinya kebaikan lawan dari kejelekan.
Menurut Ali Musthafa Yakup, Mau’izhah Hasanah adalah “ucapan berisi nasihat-nasiahat baik dan bermanfaat bagi orang yang mendengarkannya atau argumen-argumen yang memuaskan sehingga pihak mad’u dapat membenarkan apa yang disampaikan oleh Da’i”.
Jadi metode Mau’izhah hasanah adalah sebuah cara yang dilakukan seorang da’i dengan menyentuh hatinya menggunakan tutur kata dan bahas yang baik dan tidak menyinggung, sehingga mad’u dapat menerima pesannya dengan baik. Maka dengan itu seorang da’i hendaklah menggunakan dan menguasai metode ini dan da’i harus mampu menyesuaikan dan mengarahkan pesan dakwah sesuai dengan tingkat berfikir dan lingkup pengalaman dari objek dakwahnya, agar tujuan dakwah sebagai ikhtiar untuk mengaktualisasikan nilai-nilai ajaran islam ke dalam kehidupan pribadi atau masyarakat dapat terwujud.
3. Al-Mujadalah Bi Al-Lati Hiya Ahsan
Menurut bahasa kata mujadalah diambil dari kata “Jadala”yang artinya memintal, melilit, namun apabila kalimatnya menjadi “mujadalah” maka maknanya berubah menjadi perdebatan. Sedangkan menurut istilah Al-mujadalah berarti upaya tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis, tanpa adanya suasana yang mengharuskan lahirnya permusuhan diantara keduanya. Sedangkan menurut Dr.Sayyid Muhammad Thantawi ialah suatu upaya yang bertujuan untuk mengalahkan pendapat lawan dengan cara menyajikan argumentasi dan bukti yang kuat.
Dari pengertian daiatas maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengna Al-mujadalah adalah merupakan tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis yang tidak dapatmelahirkan permusuhan dengan tujuan agar lawan menerima pendapat yang diajukan dengan memberikan argumentasi dan bukti yang kuat. Antara yang satu dengan yang lainnya saling menghargai, dan keduanya berpegang teguh dalam hal kebanaran.
Al-mujadalah merupakan cara terakhir yang digunakan untuk berdakwah, karena cara ini digunakan kepada orang-orang yang tingkat ilmunya tinggi dan berpikir kritis. Dari ketiga metode di atas, maka dapat diwujudkan dalam beberapa bentuk dakwah, diantaranya:
a. Bil Lisan
Dakwah Bil Lisan merupakan bentuk penyampaian pesan-pesan kebenaran yang bersumber dari Al-quran dan hadits yang dilakukan dengan lisan secara langsung yang dilakukan dengan cermat, jitu, dan akurat sehingga tepat mengenai sasaran. Contohnya seperti khutbah jumat, khutbah hari raya, atau bahkan kajian.
b. Bil qalam
Dakwah bilqalam adalah dakwah yang menggunakan media tulisan seperti; majalah, koran, blog, fb dan masih banyak lagi yang lainnya.
c. Dakwah Bil Hal
Dakwah Bil Hal merupakan aktivitas dakwah isalam yang dilakukan dengan tindakan nyata atau amal nyata terhadap kebutuhan penerima dakwah. Sehingga tidakan dakwah tersebut sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh penerima dakwah. Sasaran dakwah Bil Hal mengacu kepada pengembangan masyarakat secara keseluruhan.
Dari metode dan bentuk dakwah yang dijelaskan di atas, maka yang cocok digunakan untuk dakwah di masyarakat transisi yaitu menggunakan dakwah Bil hal dan billisan yaitu dengan cara terjun langsung ke masyarakat. Adapun cara yang bisa diterapkan dalam melakukan dakwah di masyarakat transisi adalah:
1. Aspek Pengembangan Sumber daya Manusia
Dalam hal ini yang dilakukan oleh seorang da’I dalam menyiarkan agama Islam adalah dengan membangun sarana pendidikan, seperti sekolah, pesantren, dan melakukan pengajian majlis ta’lim dan mengadakan sekolah diniyah.
Berdasarkan fakta yang ditemukan bahwa masyarakat taransisi ini kehidupannya bisa dikatakan mengagantung, kesehariannya tidak seperti di kota dan tidak seperti di desa, jadi keadaannya masyarakat itu sudah mengalami perubahan, namun kebiasaannya yang kedesaan masih ada dan kerap dilakukan langsung.
2. Aspek Pengembangan Sumber Ekonomi Daya
Dalam kegiatan ini seorang Da’i melakukan dakwahnya dengan melibatkan para da’i dalam mendirikan sebuah lembaga perekonomian seperti koperasi, didalam kegiatan ini masyarakat dibimbing oleh seorang Da’i untuk berdagang sesuai dengan ajaran islam dan membimbingnya agar bisa berdagang sesuai dengan ajaran islam, selain itu dalam hal ini seorang da’i berusaha menyisipkan ajaran islam, seperti ketika mau rapat diwajibkan untuk do’a bersama terlebih dahulu dan diakhiri dengan do’a bersama juga.




BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Masyarakat transisi adalah masyarakat yang mengalami perkembangan dari situasi yang awalnya tradisional dan secara berangsur-angsur sudah mulai mengalami perkembangan kehidupan baik dalam tatanan sosial maupun struktur sosial.
Masyarakat transisi pun dapat dikatakan sebagai masyarakat yang mengalami perubahan dari suatu masyarakat ke masyarakat yang lainnya. Misalnya masyarakat pedesaan yang mengalami transisi ke arah kebiasaan kota, yaitu pergeseran tenaga kerja dari pertanian, dan mulai masuk ke sektor industri.
 Ciri-ciri masyarakat transisi adalah:
1) Adanya pergeseran dalam bidang, misalnya pekerjaan, seperti pergeseran dari tenaga kerja pertanian ke sektor industri
2) Adanya pergeseran pada tingkat pendidikan. Di mana sebelumnya tingkat pendidikan rendah, tetapi menjadi sekarang mempunya tingkat pendidikan yang meningkat, dan daya pikir individu yang mengarah pada tujuan hidup yang sejahtera.
3) Mengalami perubahan ke arah kemajuan
4) Masyarakat sudah mulai terbuka dengan perubahan dan kemajuan jaman.
5) Tingkat mobilitas masyarakat tinggi.
6) Biasanya terjadi pada masyarakat yang sudah memiliki akses ke kota misalnya jalan raya.
7) Kehidupan masyarakatnya sudah berubah dari situasi  yang tadinya tradisional
8) Sudah mengenal pembangunan
9) Alat yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari sudah agak berjual beli mahal
10) Kebudayaannya sudah baru
11) Sudah mengenal kesejahteraan hidup
12) Struktur sosialnya mengalami perubahan
13) Jalur akses perdagangan dan jalan wilayah mereka sudah akses cepat.


B. SARAN
Dalam mengahadapi masyarakat transisi yang merupakan masyarakat peralihan tradisional menuju modern memerlukan pendekatan baik masalah psikologis, sosiologis maupun pendekatan lain yang harus diterapkan pelaku dakwah agar pendekatan tersebut sesuai dengan situasi kondisi dan karakter masyarakat transisi





















DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhammad, Al-Da’wah ila Al-Islam, (Kairo : Dar al-fikr al-‘Arabi, 1998)
Acep Aripudin,Dakwah Antarbudaya, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012)
Asep Muhyiddin, Metode Pengembangan Dakwah, (Bandung, Rajawali, 2002)
DEPAG RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: PT. Grafindo Kumudasmoro, 1994)
Hajir Tajiri. Etika dan Estetika Dakwah. Bandung:Simbiosa Rekatama Media. 2015
Moh. Ali Aziz, Tafsir Ayat-ayat Bimbingan dan Konseling Islam, (Surabaya : FDK Uinsa, 2016)
Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah,( Jakarta:Amzah, 2009 )
Soerjono Soekanto.Sosiologi Suatu pengantar. Jakarta:Rajawali Pers. 2009
W.B Werteim.Masyarakat Indonesia DalamTransisi.Yogyakarta: PT. Tiara WacanaYokya. 1999
Ahmad, Ayu. Hubungan Masyarakat Transisi dengan Masyarakat Lainnya. Diakses pada 5 Juni 2011. (http://httpmasyarakattransisi.blogspot.co.id/)

Pengantar Psikoterapi : Client Centered

KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang telah mencurah limpahkan rahmat dan inayah-Nya kepada kami sehingga kami bisa menyelesaikan tugas ini dengan baik. Tak lupa, sholawat serta salam semoga selalu terlimpah curah kepada junjunan Nabi besar Muhammad SAW. Kami bersyukur akhirnya makalah ini dapat terselesaikan dengan baik walaupun kami mengetahui pasti banyak kekurangan di dalamnya.
Makalah kami kali ini dibuat untuk memenuhi tugas terstruktur dari matakuliah Pengantar Psikoterapi yang diampu oleh Bapak Dr. H. Isep Zaenal Arifin, M.Ag berkat beliau kami bisa menggali lebih dalam mengenai terapi konseling dan lebih khususnya mengenai terapi Client-Centered, termasuk kali ini kami akan membahas mengenai teori, sejarah beserta prosesnya. Selesainya makalah kami kali ini tak lepas dari bantuan berbagai buku yang telah kami baca, beserta makalah-makalah yang ada di internet dengan patokan-patokan yang telah disampaikan oleh dosen kami. Untuk itu kami sangat berterimakasih pada rekan-rekan dan pihak lain yang telah membantu kami menyelesaikan tugas ini.
Di balik itu semua, kami menyadari bahwa banyak kesalahan yang terdapat di dalam makalah ini, baik itu dari segi materi, tata bahasa maupun struktur kepenulisan. Oleh karena itu, kami sangat menerima berbagai saran maupun pendapat dari pembaca semua agar kami bisa membuat makalah yang lebih baik lagi kedepannya.
Akhir kata, kami berharap semoga makalah ini dapat menginspirasi dan juga bermanfaat bagi pembaca semua, dan khususnya dapat bermanfaat bagi penulis pula. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.
Bandung, 4 April 2018

Tim Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I  PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 4
C. Tujuan dan Manfaat 4
BAB II PEMBAHASAN 5
A. Pengertian Terapi Client-centered 5
B. Sejarah Kelahiran Dan Tokoh-Tokoh Client-centered 5
1. Sejarah Kelahiran 5
2. Tokoh-Tokoh Terapi Client-centered 7
C. Pokok-Pokok Pemikiran Terapi Client-Centered 10
1. Filsafat Dasar Manusia Dalam Pandangan Terapi Client-centered 10
2. Konsep Utama Dalam Terapi Clien Centered 11
3. Tujuan Terapi Client-centered 11
4. Hubungan Terapeutik Dalam Terapi Client-centered 12
D. Proses dan Tahapan Terapi 15
1. Fase Pra Interaksi 15
2. Fase Terapi 18
3. Fase Terminasi atau Closing 19
E. Pengaruh dan Perkembangan Terapi Client-Centered 21
1. Pengaruh 21
2. Perkembangan Teori 21
BAB III  PENUTUP 24
A. Analisis 24
B. Kesimpulan 26
DAFTAR PUSTAKA 28


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbagai masalah tentu saja dialami oleh kalangan masyarakat yang ada di dunia. Tak ayal, mereka mencari jalan keluar untuk mengatasi masalah yang sedang dialaminya itu. Sebagai makhluk sosial atau makhluk yang membutuhkan bantuan orang lain, tentu saja konseling menjadi salah satu jalan keluar dari masalah yang sedang diembannya. Hal tersebut menjadi sebuah pekerjaan yang amat penting agar manusia dapat mengeluarkan diri dari setiap masalah yang ada. Konselor sebagai sebuah profesi dalam kegiatan profesionalnya menggunakan cara-cara tertentu yang berbeda dengan profesi lain yang mempunyai tujuan yang sama, yaitu membantu penyelesaian masalah konseli. Keberadaan ditunjukkan pada ragam tindakan konselor dalam membantu konseli dalam bentuk layanan konseling.
Konseling sebagai cara membantu, memiliki bermacam-macam model dalam mendekati konseli beserta masalahnya. Kata “mendekati” atau pendekatan menunjuk pada aspek pribadi konseli yang ingin disentuh dan diberdayakan oleh konselor untuk mengatasi masalahnya yang mereka hadapi. Menurut Nelson (2011) model pendekatan konseling dalam judul pendekatannya, misalnya person centered therapy, gestalt therapy, rational emotive behavior therapy, cognitive therapy.
Client-Centered Theory sering pula dikenal sebagai teori non-direktiv atau berpusat pada pribadi. Client-Centered sebagai model pendekatan dalam konseling merupakan hasil pemikiran Carl Rogers. Rogers adalah seorang empirisme yang mendasarkan teori-teorinya pada data mentah, ia percaya pentingnya pengamatan subjektif, ia percaya bahwa pemikiran yang teliti dan validasi penelitian diperlukan untuk menolak kecurangan diri (self-deception). Yang mana Rogerian tidak hanya berisi pertanyaan-pertanyaan teori tentang kepribadian dan psikoterapi, tetapi juga suatu pendekatan, suatu orientasi atau pandangan tentang kehidupan.

Rogers (dalam Corey 2006: 7) mengemukakan bahwa:
Dalam konteks konseling, Rogers menemukan dan mengembangkan teknik konseling yang dikenal sebagai Client-Centered Therapy, yakni model terapi yang berpusat pada klien. Dibandingkan teknik terapi yang ada masa itu, teknik ini adalah pembaharuan karena mengasumsikan posisi yang sejajar antara konselor dan pasien atau klien. Hubungan konselor-klien diwarnai kehangatan, saling percaya, dan klien diberikan diperlakukan sebagai orang dewasa yang dapat mengambil keputusan sendiri dan bertanggungjawab atas keputusannya. Tugas konselor adalah membantu klien mengenali masalah dirinya sendiri sehingga akhrinya dapat menemukan solusi bagi dirinya sendiri.
Pendekatan konseling Client-Centered menekankan pada kecakapan klien untuk menentukan isu yang penting bagi dirinya dan pemecahan masalah dirinya. Konsep pokok yang mendasari adalah hal yang menyangkut konsep-konsep mengenai diri (self), aktualisasi diri, teori kepribadian, dan hakekat kecemasan. Menurut Roger (dalam Juntika, 2006:21) “konsep inti konseling berpusat pada klien adalah konsep tentang diri dan konsep menjadi diri atau pertumbuhan perwujudan diri”.
Inti dari konseling berpusat pada klien ini adalah tentang diri dan konsep menjadi diri atau pertumbuhan perwujudan diri. Dikatakan bahwa konsep atau struktur diri dipandang sebagai konfigurasi persepsi yang terorganisasikan tentang diri yang membawa kesadaran. Hal itu terdiri dari atas unsur-unsur persepsi terhadap karakteristik dan kecakapan seseorang, pengamatan dan konsep diri dalam hubungan dengan orang lain dan lingkungan dan cita-cita yang dipandang mempunyai kekuatan positif dan negatif. Rogers membangun teorinya ini berdasarkan penelitian dan observasi langsung terhadap peristiwa-peristiwa nyata, dimana pada akhirnya ia memandang bahwa manusia pada hakekatnya adalah baik.
Menurut Sayekti (1997), ada beberapa konsepsi Rogers tentang hakekat manusia adalah: (1) Manusia tumbuh melalui pengalamannya, baik melalui perasaan, berfikir, kesadaran ataupun penemuan. (2) Hidup adalah kehidupan saat ini dan lebih dari pada perilaku- perilaku otomatik yang ditentukan oleh kejadian-kejadian masa lalu, nilai-nilai kehidupan adalah saat ini dari pada masa lalu, atau yang akan datang. (3) Manusia adalah makhluk subjektif, secara esensial manusia hidup dalam pribadinya sendiri dalam dunia subjektif. (4) Keakraban hubungan manusia merupakan salah satu cara seseorang paling banyak memenuhi kebutuhannya. (5) Pada umumnya setiap manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan untuk bebas, spontan bersama-sama dan saling berkomunikasi. (6) Manusia memiliki kecenderungan ke arah aktualisasi, yaitu tendensi yang melekat pada organisme untuk mengembangkan keseluruhan kemampuannya dalam cara memberi pemeliharaan dan mempertinggi aktualisasi diri.
Manusia dalam pandangan Rogers menurut Hidayat (2011) adalah (1) ia memandang manusia terisolasi dan bergerak ke depan, berjuang untuk berfungsi penuh, serta memiliki kebaikan. Manusia pada dasarnya dapat dipercayai, kooperatif, dan konstruktif, tidak perlu melakukan pengendalian terhadap dorongan-dorongan agresif yang dimilikinya. (2) manusia juga memiliki kemampuan menentukan nasibnya sendiri, dapat dipercaya dan mengejar kesempurnaan diri. Asumsinya Rogers tentang manusia adalah bahwa manusia itu bebas, rasional, utuh, mudah berubah, subjektif, proaktif, tetapi heterostatis dan sulit dipahami. (3) Rogers percaya dan optimis dengan sifat alami manusia. Dorongan paling besar pada manusia adalah aktualisasi diri yaitu memelihara, menegakkan, mempertahankan diri dan meningkatkan diri dengan memberikan kesempatan terhadap individu untuk berkembang dalam gerak maju dan memiliki cara untuk menyesuaikan diri
Peran konselor dalam model pendekatan konseling Client-Centered adalah : (1) Konselor tidak memimpin, mengatur atau menentukan proses perkembangan konseling, tetapi hal tersebut dilakukan oleh klien itu sendiri, sehingga ia dapat menentukan pilihan hidup mana yang akan diambilnya. (2) Konselor merefleksikan perasaan-perasaan klien, sedangkan arah pembicaraan ditentukan oleh klien. (3) Konselor menerima klien dengan sepenuhnya dalam keadaan seperti apapun. (4) Konselor memberi kebebasan pada klien untuk mengeksperisikan perasaan-perasaan sedalam-dalamnya.
B. Rumusan Masalah
Makalah ini menyinggung beberapa permasalahan yang terdiri atas :
1. Apakah pengertian dari Client-Centered?
2. Bagaimana sejarah Kelahiran dan Tokoh Terapi Client-Centered?
3. Bagaimana Pokok-Pokok Pemikiran Terapi Client-Centered?
4. Bagaimana Proses dan tahapan terapi Client-Centered?
5. Apakah pengaruh dan perkembangan dari terapi Client-Centered?

C. Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari makalah ini ialah:
1. Mengetahui pengertian dari Client-Centered
2. Mengetahui sejarah Kelahiran dan Tokoh Terapi Client-Centered
3. Mengetahui Pokok-Pokok Pemikiran Terapi Client-Centered
4. Mengetahui Proses dan Tahapan Terapi Client-Centered
5. Mengetahui pengaruh dan perkembangan dari terapi Client-Centered









BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Terapi Client-centered
Client-centered, yaitu cara mengungkapkan tekanan batin yang dirasakan menjadi penghambat dengan sistem pancingan yang berupa satu-dua pertanyaan yang terarah. Selanjutnya klien diberi kesempatan seluas-luasnya untuk menceritakan segala uneg-uneg (tekanan batin) yang disadari menjadi hambatan jiwanya, pembimbing/ konselor dan atau terapis bersikap memperhatikan dan mendengarkan serta mencaat poin-poin yang penting yang dianggap rawan untuk diberi bantuan. Pada titik kesimpulan terakhir, pembimbing tidak memberikan pengarahan atau komentar apa-apa, melainkan bersikap menunjukkan kelemahan atau hambatan apa yan sebenarnya dialami oleh klien lewat test atau cara lain.
Carl L. Rogers mengembangkan terapi client-centered sebagai reaksi terhadap apa yan disebutnya keterbatasan-keterbatasan mendasar dari psikoanalisis. Pada hakikatnya, pendekatan client-centered adalah cabang khusus dari terapi humanistik yang menggaris bawahi tindakan klien berikut dunia subjektif fenomenalnya. Terapis berfungsi terutama sebagai penunjang pertumbuhan pribadi kliennya dengan jalan membantu kliennya ini dalam menemukan kesangguapan-kesanggupan untuk memecahkan masalah-masalah. Pendekatan client-centered menaruh kepercayaan yang besar pada kesanggupan klien untuk mengikuti jalan terapi dan menemukan arahnya sendiri.

B. Sejarah Kelahiran Dan Tokoh-Tokoh Client-centered
1. Sejarah Kelahiran
Menurut sejarah kelahirannya, terapi yang berpusat pada orang/klien disebut dengan terapi humanistik yang dikembangkan Carl R.Rogers(salah satu psikolog klinis yang menekuni bidang konseling dan terapi) sebagai konseling yang dipusatkan pada klien  (Ahmad Bahrul, 2002:152)  pada pertengahan abad ke-20.
Kemudian, dari latar belakang pekerjaannya yang berfokus pada anak, Carl Ransom Rogers (1902-1987) pada awal tahun 1940 mengembangkan teori yang disebut non-directive counseling (konseling non-direktif) sebagai reaksi atas pendekatan yang direktif dan pendekatan psikoanalitik. Rogers menentang asumsi dasar bahwa “konselor tahu apa yang terbaik“.
Pada masa itu aliran Psikoanalisis sangat dominan, dengan tujuan membuat sadar hal-hal yang tidak disadari dan menekankan pada masa lalu. Rogers mencoba menekankan pada masa kini dan membantu klien memperjelas persepsi mereka mengenai diri sendiri dengan interpretasi dari terapis. Kemudian Rogers mengubah nama pendekatannya menjadi terapi client-centered pada tahun 1950 dan kemudian mengubahnya lagi menjadi person-centered tahun 1951.
Dia juga menentang kesahihan  dari prosedur terapeutik yang telah secara umum bisa diterima seperti nasehat, saran, himbauan, pemberian pengajaran, diagnosis, dan tafsiran. Didasarkan pada keyakinannya bahwa konsep dan prosedur diagnostik kurang memadai, berprasangka, dan sering kali disalahgunakan, maka pendekatannya tidak dengan menggunakan cara tersebut. Konselor non-direktif menghindar dari usaha untuk melibatkan dirinya dengan urusan klien, dan sebagai gantinya mereka memfokuskan terutama pada merefleksi dan komunikasi verbal dan non verbal pada klien.
Kaitan Terapi dengan pendekatan Client-centered dengan terapi lainnya
Terapi Client-centered ini menurut Carl Rogers merupakan reaksi terhadap apa yang disebutkannya keterbatasan-keterbatasan medasar dari psikoanalisis. Pada hakikatnya, pendekatan client-centered adalah cabang khusus dari terapi humanistik yang menggarisbawahi tindakan mengalami klien berikutnya dunia subjektif dan fenomenalnya. Terapis berfungsi terutama sebagai penunjang pertumbuhan pribadi kliennya dengan jalan membantu kliennya itu dalam menemkan kesanggupan-kesanggupan untuk memecahkan masalah. Pendekatan Client-centered menaruh kepercayaan yang besar pada kesanggupan klien untuk mengikuti jalan terapi yang menemukan arahnya sendiri (Gerald Corey, 2013:91).

2. Tokoh-Tokoh Terapi Client-centered
a. Carl Ransom Rogers
Carl Rogers dilahirkan di Oak Park, Illions, pada tanggal 8 Januari 1902. Dia anak dari pasangan Walter dan Julia. Keluarga Rogers dpandang sebagai penganut protestan konservaif. Pada tahun 1924 dia lulus dari Universitas Wisconsin dalam bidang pertanian. Pada tahun yang sama, yaitu pada tanggal 28 Agustus dia menikah dengan Hellen Elliot. Mereka dikaruniai dua anak, yaitu David dan Natalie. Mulai 1924-1926 dia masuk ke Union Teology Seminary, sebagai lembaga yang mengembangkan pandangan yang liberal dan filosofis dalam agama.Semasa mudanya, Rogers tidak memiliki banyak teman sehingga ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk membaca. Beliau amat menyukai petualangan. Ia pernah belajar di bidang agricultural dan sejarah di Universitas di Wisconsin.
Ia menaruh perhatian atas ilmu pengetahuan alam dan biologi. Pengaruh filsafat J. Deway mendorong Rogers masuk lembaga psikologi. Pada tahun 1923 mendapat gelar sarjana.
Pada tahun 1928 dia menerima gelar MA di Universitas Columbia, dan gelar Ph.D. pada tahun 1931 di Universitas yang sama dalam bidang psikologi pendidikan dan klinis. Selama tahun 1927 sampai 1928, Rogers memulai praktik pertamanya dalam psikologi klinis dan menjadi anggota institute Bimbingan Anak (Syamsu Yusuf dan Achmad Juntika, 2011:142). Pengalaman dalam bidang klinik psikologi dan psikoterapi diperoleh dari lembaga pembimbing anak-anak yang menganut pandangan Freud.
Pada tahun 1939, ia menerbitkan suatu tulisan berjudul “The Clinical Treatment of The Problem Child”, yang membuatnya mendapatkan tawaran sebagai professor pada fakultas Psikologi di Ohio State University tahun 1940. Perpindahan dari pekerjaan klinis ke suasana akademis ini dirasa oleh Rogers sendiri sangat tajam. Karena rangsangannya Rogers merasa terpaksa harus membuat pandangannya dalam psikoterapi itu menjadi jelas. Dan ini dikerjakannya pada 1942 dalam buku Counseling and Psychotheraphy. Hasil karya yang paling terkenal dari Rogers dan masih menjadi literature sampai saat ini adalah metode konseling yang disebut Client-centered Therapy.
Pada tahun 1945 Rogers menjadi mahaguru psikologi di University of Chicago, yang dijabatnya hingga kini. Tahun 1946-1957 menjadi Presiden The American Psychological Association. Dan meninggal dunia tanggal 4 Februari 1987 karena serangan jantung.
Rogers adalah salah satu peletak dasar dari gerakan potensi manusia, yang menekankan perkembangan pribadi melalui latihan sensitivitas, kelompok pertemuan, dan latihan lainnya yang ditujukan untuk membantuorang agar memiliki pribadi yang sehat. Dia membangun teorinya berdasarkan praktik interaksi terapeutik dengan para pasiennya. Karena dia menekankan teorinya kepada pandangan subjektif seseorang, maka teorinya dinamakan “personcentered theory” (Syamsu Yusuf dan Achmad Juntika, 2011:142).
Rogers terkenal sebagai seorang tokoh psikologi humanis, aliran fenomenologis-eksistensial, psikolog klinis dan terapis, ide-ide dan konsep teorinya banyak didapatkan dalam pengalaman-pengalaman terapeutiknya. 
Ide pokok dari teori – teori Rogers yaitu individu memiliki kemampuan dalam diri sendiri untuk mengerti diri, menentukan hidup, dan menangani masalah–masalah psikisnya asalkan konselor menciptakan kondisi yang dapat mempermudah perkembangan individu untuk aktualisasi diri.
Menurut Rogers motivasi orang yang sehat adalah aktualisasi diri. Jadi manusia yang sadar dan rasional tidak lagi dikontrol oleh peristiwa kanak-kanak seperti yang diajukan oleh aliran Freudian, misalnya toilet trainning, penyapihan ataupun pengalaman seksual sebelumnya.
Rogers lebih melihat pada masa sekarang, dia berpendapat bahwa masa lampau memang akan mempengaruhi cara bagaimana seseorang memandang masa sekarang yang akan mempengaruhi juga kepribadiannya. Namun ia tetap berfokus pada apa yang terjadi sekarang bukan apa yang terjadi pada waktu itu.
Rogers dikenal juga sebagai seorang fenomenologis, karena ia sangat menekankan pada realitas yang berarti bagi individu. Realitas tiap orang akan berbeda–beda tergantung pada pengalaman–pengalaman perseptualnya. Lapangan pengalaman ini disebut dengan fenomenal field. Rogers menerima istilah self sebagai fakta dari lapangan fenomenal tersebut.

Konstruk (Aspek-aspek) Kepribadian
Rogers menggambarkan pribadi yang berfungsi sepenuhnya adalah pribadi yang mengalami penghargaan positif tanpa syarat. Ini berarti dia dihargai, dicintai karena nilai adanya diri sendiri sebagai person sehingga ia tidak bersifat defensif namun cenderung untuk menerima diri dengan penuh kepercayaan. Konsepsi-konsepsi pokok dalam teori Rogers adalah (Syamsu Yusuf dan Achmad Juntika, 2011:143):
1) Organisme, yaitu keseluruhan individu (the total individual). Dapat dikatakan pula sebaga makhluk fisik (Physical Creature) dengan semua fungsi-fungsinya, baik fisik maupun psikis. Organisme memiliki sifat-sifat berikut:
• Organisme beraksi sebagai keseluruhan terhadap medan phenomenal dengan maksud memenuhi kebutuhankebutuhannya.
Organisme mempunyai satu motif dasar yaitu: mengaktualisasikan, mempertahankan dan mengembangkan diri.
Organisme mungkin melambangkan pengalamannya, sehingga hal itu disadari, atau mungkin menolak pelambangan itu, sehingga pengalaman-pengalaman itu tak disadari, atau mungkin juga organisme itu tak memperdulikan pengalaman-pengalamannya.   
2) Medan phenomenal, yaitu keseluruhan pengalaman (the totality of experience). Medan phenomenal punya sifat disadari atau tak disadari, tergantung apakah pengalaman yang mendasari medan phenomenal itu dilambangkan atau tidak.
3) Self, yaitu bagian medan phenomenal yang terdiferensiasikan dan terdiri dari pola-pola pengamatan dan penilaian sadar daripada “I” atau “me”. Self ini merupakan konstruk utama dalam teori kepribadian Rogers, yang dewasa ini dikenal dengan “self concept”. Self mempunyai bermacam-macam sifat:
a) Self berkembang dari interaksi organisme dengan lingkungan.
b) Self mungkin menginteraksikan nilai-nilai orang lain dan mengamatinya dalam cara (bentuk) yang tidak wajar.
c) Self mengejar (menginginkan) consistency (keutuhan/kesatuan, keselarasan).
d) Organisme bertingkah laku dalam cara yang selaras (consistent) dengan self.
e) Pengalaman-pengalaman yang tak selaras dengan stuktur self diamati sebagai ancaman.
f) Self mungkin berubah sebagai hasil dari pematangan (maturation) dan belajar.
Hubungan antara ‘self concept” dengan organisme terjadi dalam dua kemungkinan, yaitu “congruence” dan “incongruence”. Kedua kemungkinn hubungan ini menentukan perkembngan kematangan, penyesuain (adjustment), dan kesehatan mental (mental health) seseorang.

C. Pokok-Pokok Pemikiran Terapi Client-Centered
1. Filsafat Dasar Manusia Dalam Pandangan Terapi Client-centered
Terapi dengan model client-centered ini memandang manusia secara positif; Manusia memiliki suatu kecenderungan ke arah menjadi berfungsi penuh. Dalam konteks hubungan terpeutik, klien mengalami perasaan-perasaan yang sebelumnya diingkari. Klien mengaktualkan potensi dan bergerak ke arah meningkatkan kesadaran, spontanitas, kepercayaan kepada diri, dan keterarahan alam.
Pandangan tentang manusia yang positif ini memiliki implikasi-implikasi yang berarti bagi praktik terapi client-centered. Berkat pandangan filosofis bahwa individu memiliki kesangguapan yang inheren untuk menjauhi maladjustment menuju keadaan psikologis yang sehat, teapis meletakkan tanggungjawab utamanya bagi proses terapi pada klien. Model terapi client-centered ini menolak konsep yang memandang bahwa terapis sebagai otoritas yang mengetahui yang terbaik dan memandang klien sebagai manusia pasif yang hanya mengikuti perintah-perintah terapis. Oleh karena itu, terapi client-centered berakar pada kesanggupan klien untuk sadar dan membuat putusan-putusan.

2. Konsep Utama Dalam Terapi Client-Centered
Terapi client-centered meyakini  bahwa klien memiliki kemampuan untuk menjadi sadar atas masalah-masalahnya serta cara-cara mengatasinya. Kepercayaan diletakkan pada kesanggupan klien untuk mengarahkan dirinya sendiri. Kesehatan mental adalah kesadaran antara diri ideal dan diri real. Maladujstmen adalah akibat dari kesenjangan antara diri ideal dan diri real. Berfokus pada saat sekarang serta pada mengalami dan mengekspresikan perasaan-perasaan.
Terapis akan memberikan sikap-sikap dasar dan pengertian kepada  klien. Melalui pandangan positif dari terapis, klien diharapkan mampu menanggalkan tuntutan-tuntutannya yang tak wajar serta mengeksplorasi secara lebih penuh dan bebas dari kesulitan-kesulitan pribadinya.
Pendekatan client-centered difokuskan kepada tanggung jawab dan kesanggupan klien untuk menemukan cara-cara menghadapi kenyataan secara lebih penuh. Klein, sebagai orang yang paling mengetahui dirinya sendiri, adalah orang yang harus menemukan tingkah laku yang lebih pantas bagi dirinya.
Jadi, client-centered bukanlah sekumpulan teknik, juga bukan suatu dogma. Pendekatan client-centered, yang berakar pada sekumpulan sikap dan kepercayaan yang ditunjukkan oleh terapis, barangkali paling tepat dicirikan sebagai suatu cara ada dan sebagai perjalanan bersama dimana baik terapis maupun klien memperlihatkan kemanusiawiannya dan berpartisipasi dalam pengalaman pertumbuhan.

3. Tujuan Terapi Client-centered 
Adapun tujuan dari terapi client-centered ini yaitu menyediakan suatu iklim yang aman dan kondusif bagi eksplorasi diri klien sehingga ia mampu menyadari penghambat-penghambat pertumbuhan dan aspek-aspek pengalaman diri yang sebelumnya diingkari atau didisiorsinya. Membantu klien agar mampu bergerak ke arah keterbukaan terhadap pengalaman serta meningkatkan spontanitas dan perasaan hidup.
Tujuan dasar dari terapi client-centered adalah menciptakan iklim yang kondusif bagi usaha membantu klien untuk menjadi seorang pribadi yang berfungsi penuh. Guna mencapai tujuan terapeutik tersebut, terapis perlu mengusahakan agar klien bisa memahami hal-hal yang ada dibalik topeng yang dikenakannya. Klien mengembangkan kepura-puraan dan bertopeng sebagai pertahanan terhadap ancaman.
Terapis client-centered akan menaruh kepercayaan kepada kemampuan klien untuk menemukan jalannya sendiri dan mempercayai bahwa dalam dirinya sendiri memiliki sumber-sumber yang diperlukan bagi pertumbuhan pribadinya. Oleh karena itu pula terapi client-centered tidak akan menitikberatkan pada diagnosis atau penggalian untuk memperoleh informasi dari masa lampau klien. Dalam model terapi ini, terapis akan memberikan kebebasan dan rasa aman kepada klien untuk mengeksplorasi aspek-aspek yang mengancam dari dirinya dan menahan diri dari keinginan menghakimi dan mengkritik atas perasaan-perasaan yang dimilikinya. Terapis client-centered akan berusaha untuk  mengalami sepenuhnya pada saat sekarang bagaimana hidup dalam dunia klien.

4. Hubungan Terapeutik Dalam Terapi Client-centered
Hubungan terapis klien sangat penting. Kualitas-kualitas terapis yang mencakup kehangatan, empati yang akurat, respek, sikap permisif, dan kemampuan mengkomunikasikan sikap-sikap tersebut kepada klien, sangat ditekankan. Klien menggunakan hubungan yang nyata dengan terapis untuk menerjemahkan belajar diri ke dalam hubungan-hubungan yang lain.
Hubungan terapeutik melibatkan ciri-ciri dari terapis maupun klien. Tingkat perhatian terapis, minat dan kemampuannya dalam membantu klien, serta ketulusannya adalah faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan. Konseling atau psikoterapi adalah perkara pribadi yang melibatkan hubungan pribadi, dan bukti menunjukkan bahwa kejujuran, keutulusan, penerimaan, kehangatan, pengertian, dan spontanitas adalah bahan-bahan dasar bagi terapi yang berhasil.
Adapun ciri-ciri hubungan terapeutik serta sikap-sikap utama seorang terapi client-centered yang kondusif bagi penciptaan iklim psikologi yang layak menurut Carl Roger (1967) sebagai berikut :
a. Dua orang dalam hubungan psikologis.
b. Orang pertama, yang akan kita sebut klien, ada dalam keadaan tidak selaras, peka, dan cemas.
c. Orang yang kedua, yang akan kita sebut terapis, ada dalam kedaan selaras atau terintegrasi dalam berhubungan.
d. Terapis merasakan perhatian positif tak bersyarat terhadap klien.
e. Terapis merasakan pengertian yang empatik terhadap kerangka acuan internal klien dan berusaha mengkomunikasikan perasaannya ini kepada klien.
f. Komunikasi pengertian empatik dan rasa hormat yang positif tak bersyarat dari terapis kepada klien setidak-tidaknya dapat dicapai.
Ada tiga ciri atau sikap pribadi terapis yang membentuk bagian tengah hubungan terapeutik, dan karenanyaa juga dari proses terapeutik, yaitu:
a. Keselarasan atau Kesejatian
Keselarasan adalah ciri yang paling penting. Keselarasan menyiratkan bahwa terapis tampil nyata, yang berarti sejati, terintegrasi, dan otentik selama pertemuan terapi.  Terapis yang otentik bersikap spontan dan terbuka dalam menyatakan perasaan-perasaan dan sikap-sikap yang ada pada dirinya, baik yang negatif, maupun yang positif.
Melalui pengungkapan (dan penerimaan) perasaan-perasaan tertentu yang negatif, terapis menunjang komunikasi yang jujur dengan klien. Melalui hubungan pribadi-kepribadi, terapis akan bekerja ke arah pemenjadian dan aktualisasi dirinya sekaligus kea rah pertumbuhan klien.
Terapi client-centered, bagaimanapun, menekankan nilai hubungan yang noneksploatatif dan otentik serta nilai potensial dari umpan balik yang terbuka dan jujur ketika komunikasi yang bermakna terhambat. Terapi client-centered juga menekankan bahwa terapi akan terhambat jika terapis merasakan perasaan tertentu terhadap klien, tetapi dia melakukan tindakan yang berbeda dengan perasaannya itu. Jadi, jika terapis tidak suka atau tidak menyetujui klien, tetapi menunjukkan penerimaan terhadap kliennya, maka terapi tidak akan berlangsung dengan baik.
Konsep keselarasan terapis tidak mengandung implikasi bahwa hanya terapis yang mengaktualkan diri secara penuhlah yang bisa menjalankan terapi secara efektif. Karena terapis itu adalah seorang manusia biasa, maka dia tidak bisa diharapkan untuk sepenuhnya otentik. Model client-centered berasumsi  bahwa jika terapis selaras dalm hubungannya dengan klien, maka proses terapeutik bisa berlangsung.
b. Perhatian Positif Tak Bersyarat
Sikap kedua yang harus diberikan oleh terapis kepada klien adalah perhatian yang mendalam dan tulus. Dengan kata lain, perhatian tak bersyarat itu yakni tidak dicampuri oleh evaluasi atau penilaian terhadap perasaan-perasaan, pemikiran-pemikiran, dan tingkah laku klien sebagai baik atau buruk. Terapis menilai dan menerima klien secara hangat tanpa menaruh persyaratan-persyaratan pada penerimannya itu.  Penerimaan berarti pengakuan terhadap klien untuk memiliki perasaan-perasaan, bukan persetujuan atas semua tingkah laku.
Konsep perhatian tidak bersyarat ini tidak menyiratkan ciri  “ada atau tiada sama sekali”. Seperti halnya keselarasan, perhatian tak bersyarat adalah suatu unsur yang berada pada suatu kontinum. Semakin besar derajat kesukaan, perhatian, dan penerimaan hangat terhadap klien, maka semakin besar pula peluang untuk menunjang perubahan pada klien.
c. Pengertian Empatik yang Akurat.
Empati adalah lebih dari sekedar refleksi perasaan. Empati memerlukan lebih daripada perefleksian isi kepada klien, dan lebih daripada suatu teknik artifisial yang rutin digunakan oleh terapis. Empati juga bukan semata-mata pengetahuan objektif yang merupakan suatau pemahaman yang mendalam dari subjektif tentang klien dengan klien. Empati adalah suatu identifikasi pribadi dengan klien.
Terapis berusaha keras untuk mengindera pengalaman subjektif klien, terutama pengalaman disini dan sekarang.  Tujuan pengertian empatik yang akurat adalah untuk mendorong klien agar lebih erat dengan dirinya sendiri, mengalami perasaan-perasaannya sendiri dengan lebih dalam dan intens, serta mengenali dan mengatasi ketidakselarasan yang ada pada klien.
Konsep ini menyiratkan bahwa terapis memahami perasaan-perasaan klien seakan-akan perasaan-perasaan itu adalah perasaan-perasaannya sendiri, tetapi tanpa tenggelam di dalamnya. Penting untuk difahami bahwa taraf yang tinggi dari empati yang akurat bisa melampaui pengenalan terhadap perasaan-perasaan yang jelas menuju pemahaman terhadap perasaan-perasaan yang kurang jelas dan kurang nyata dialamimi oleh klien. Terapis membantu klien memperluas kesadarannya atas perasaan-perasaan yang hanya diakui sebagian.
Sama halnya dengan dua konsep yang terdahulua, empati yang akurat pun berda pada suatu kontinum. Semakin besar derajat terapis, maka akan besar pula peluang yang dimiliki oleh klien untuk melangkah maju dalam terapi.

D. Proses dan Tahapan Terapi
1. Fase Pra Interaksi
a. Tahap Assesment
Menilai (melakukan assesment) apa yang sebenarnya menjadi masalah masalah klien adalah bagian yang sangat dari konseling. Assesmen mempunyai banyak fungsi dalam proses konseling. Memberikan pendekatan yang sistematik untuk memperoleh dan mengorganisasi informasi yang relevan tentang klien. Mengidentifikasi peristiwa-peristiwa apa yang memberi kontribusi pada timbulnya masalah klien. (Hackney dan Cormier, 2001, hlm.75).
Menurut Hackney dan Cormier (2001), komponen assesment adalah:
1) Interview Riwayat Hidup, dalam melakukan wawancara intake riwayat hidup ini, yang harus diperoleh adalah :
Data Identifikasi : Nama, alamat, telepon. Data yang mempermudah untuk dapat menghubungi klien bila diperlukan. Juga dari alamatnya sudah dapat disimpulkan dapat kondisi kehidupan klien (daerah kumuh, tingkat menengah atas dll) Termasuk disini adalah umur, jenis kelamin, status pernikahan, pekerjaan/sekolah.
Presentasi Problem oleh Klien : Bagaimana klien menyampaikan masalahnya. Tulis seperti yang diungkapkan oleh klien.
Tatanan Kehidupan Klien Saat Ini : Mencakup latar belakang dan konteks kehidupan sehari-hari klien.
Riwayat Keluarga
Riwayat Pribadi : Riwayat medik, pendidikan, pekerjaan, seksual dan marital, pengalaman yang dimiliki dengan konseling, sasaran pribadi klien dalam hidup.
Deskripsi tentang Klien selama Interview
Ringkasan dan Rekomendasi : Bila pewawancara hanya bertanggung jawab untuk interview intake, apakah ada hubungan antara masalah yang dipresentasi oleh klien dan riwayat hidupnya. Dan menentukan model konseling apa yang cocok untuk klien itu.
2) Definisi Masalah
Pendefinisian masalah menurut Hackney dan Cormier (2001), adalah dimensi kedua dalam melakukan assesmen terhadap masalah klien. Dimensi pendefinisian masalah ini berbeda dengan pencarian informasi awal, karena disini fokusnya melakukan eksplorasi terhadap caranya klien mempresentasikan problem. Yang tercakup disini tidak saja masalah yang diprsentasikan pada awalnya (presenting problem) tetapi juga masalah-masalah lain yang muncul kemudian.
Hackney dan Cormier (2001, hlm. 79-80) menyebutkan area-area berikut untuk eksplorasi dan pemahaman dari masalah klien:
Pola Peristiwa : Yang memberi kontribusi (dapatkah diidentifikasi suatu pola atau sekuensi/urutan peristiwa yang sepertinya mengarah kepada timbulnya masalah dan juga mempertahankannya?)
Lamanya/durasi masalah : berapa lama masalah ini sudah mengganggu klien dan atau merintangi berfungsinya klien sehari-hari?
Keterampilan coping klien : mengatasi diri dari masalah
Brammer, Abrego dan Shostrom (1993), Hackney dan Cormier (2001) mengatakan bahwa pendefinisian masalah dapat pula dilakukan dengan manual diagnostik seperti Diagnostic and Statistical Manual.
b. Tahap Membangun Hubungan
Membangun hubungan dijadikan langkah pra-interaksi dalam konseling, karena klien dan konselor harus  saling mengenal dan menjalin kedekatan emosinal sebelum sampai pada pemecahan masalahnya. Pada tahapan ini, konselor harus menunjukkan bahwa ia dapat dipercaya dan kompeten dalam menangani masalah klien. Willis (2009) mengatakan bahwa dalam hubungan konseling harus berbentuka working relationship yaitu hubungan yang berfungsi, bermakna, dan berguna. Konselor dan klien  saling terbuka satu sama lain tanpa ada kepura-puraan. Selain itu, konselor dapat melibatkan klien terus menerus dalam proses konseling. Keberhasilan pada tahap ini menentukan keberhasilan langkah konseling selanjutnya.
Bimo Walgito,Bimbingan dan Konseling (Studi dan Karir), Andi Offset, (Yogyakarta, 2005) hal 187 Membangun hubungan konseling juga dapat dimanfaatkan konselor untuk menentukan sejauh mana klien mengetahui kebutuhannya dan harapan apa yang ingin dia capai dalam konseling. Konselor juga dapat meminta klien agar berkomitmen menjalani konseling dengan sungguh-sungguh.
Tahapan ini merupakan kunci awal keberhasilan konseling. Antara konselor dan klien adakalanya belum saling mengenal. Konselor diharapkan dapat menciptakan suatu perkenalan yang memungkinkan terbangun kedekatan dan kepercayaan klien. Dalam membina hubungan dengan klien, konselor dapat melakukan perkenalan secara lisan. Konselor memperkenalkan diri secara “sederhana”, yang tidak memberikan kesan bahwa konselor lebih tinggi statusnya daripada klien.
Pada tahap ini konselor membina hubungan baik dengan klien dengan cara menunjukkan perhatian, penerimaan, penghargaan, dan pemahaman empatik. Apabila klien dekat dengan dan percaya kepada konselor, ia akan bersedia membuka diri lebih jauh untuk mengemukakan masalah yang dihadapinya kepada konselor. Sehingga klien dengan suka rela termotivasi untuk mengikuti proses konseling sampai selesai.
Jeanette Murad,Dasar-Dasar Konseling,(Universitas Indonesia Press, Jakarta, 2008) hal 98,Tahapan ini merupakan kunci awal keberhasilan konseling. Antara konselor dan klien  adakalanya belum saling mengenal. Konselor diharapkan dapat menciptakan suatu perkenalan yang memungkinkan terbangun kedekatan dan kepercayaan klien. Dalam membina hubungan dengan klien, konselor dapat melakukan perkenalan secara lisan. Konselor memperkenalkan diri secara “sederhana”, yang tidak memberikan kesan bahwa konselor lebih tinggi statusnya daripada klien.
Pada tahap ini konselor membina hubungan baik dengan klien dengan cara menunjukkan perhatian, penerimaan, penghargaan, dan pemahaman empatik. Apabila klien dekat dengan dan percaya kepada konselor, ia akan bersedia membuka diri lebih jauh untuk mengemukakan masalah yang dihadapinya kepada konselor. Sehingga klien dengan suka rela termotivasi untuk mengikuti proses konseling sampai selesai.
c. Tahap Kontrak lanjut atau tidak
Menegosiasikan kontrak. Membangun perjanjian antara konselor dengan konseli, berisi : (1) Kontrak waktu, yaitu berapa lama waktu pertemuan yang diinginkan olehkonselidan konselor tidak berkebaratan; (2) Kontrak tugas, yaitu berbagi tugas antara konselor dan konseli; dan (3) Kontrak kerjasama dalam proses konseling, yaitu terbinanya peran dan tanggung jawab bersama antara konselor dan konseling dalam seluruh rangkaian kegiatan konseling.
2. Fase Terapi
Client-centered sebagai model, ia merupakan suatu cara yang penekanan masalah ini adalah dalam hal filosofis dan sikap konselor, dan mengutamakan hubungan konseling ketimbang perkataan dan perbuatan konselor. Implementasi teknik konseling didasari oleh paham filsafat dan sikap konselor tersebut. Karena itu model konseling Rogers berkisar antara lain pada cara-cara penerimaan pernyataan dan komunikasi, menghargai orang lain dan memahaminya (klien). Karena itu dalam teknik dapat digunakan sifat-sifat konselor berikut:
a. Acceptance artinya konselor menerima klien sebagaimana adanya dengan segala masalahnya. Jadi sikap konselor adalah menerima secara netral.
b. Congruence artinya karakteristik konselor adalah terpadu, sesuai kata dengan perbuatan dan konsisten.
c. Understanding artinya konselor harus dapat secara akurat dan memahami secara empati dunia klien sebagaimana dilihat dari dalam diri klien itu.
d. Non-judgemental artinya tidak memberi penilaian terhadap klien, akan tetapi konselor selalu objektif.
3. Fase Terminasi atau Closing
Salah satu tahap dalam konseling adalah saat konselor harus mengakhiri konseling. Pada dasarnya personal growth seseorang belum tentu berakhir seiring dengan berakhirnya konseling. Konseling yang efektif adalah konseling yang membuka kemungkinan pengembangan bagi klien (Jeanette Murad Lesmana,2011. hlm.144).
Metode atau langkah-langkah terminasi :
Persiapan Verbal
Melalui ucapan-ucapannya konselor mempersiapkan klien bahwa konseling sudah akan segera berakhir. Dalam hal ini, konselor kemudian menyiapkan ringkasan final untuk dibicarakan, yang merupakan riviu dari apa yang sudah dicapai, tindak lanjut nanti-nantinya, atau menyiapkan ringkasan tertulis bila perlu. Ringkasan tersebut penting untuk mengetahui apakah sasaran-sasaran konseling sudah tercapai atau belum.


Buka Jalur untuk Kemungkinan Follow-Up
Konselor tetap membuka kesempatan bagi klien untuk tindak lanjut. Dalam arti konselor tetap memberikan kesempatan pada klien untuk kembali kalua diperlukan. Namun demikian, catatan penting yang harus dicamkan oleh konselor adalah perlunya mencegah kemungkinan terjadinya ketergantungan klien terhadap konselor.
Membuka jalur follow-up ini terutama sangat perlu pada konseling yang sifatnya sangat terstruktur dan short-term.
Kemungkinan Merujuk
Kadang-kadang merujuk klien pada konselor lain bisa dijadikan alternatif cara yang tepat. Namun demikian, ada beberapa hal yang perlu dilakukan konselor yang akan merujuk kliennya, yaitu mendiskusikan dengan klien, agar tidak merasa dilempar atau “diping-pong”. Akan lebih baik bila konselor memberikan beberapa nama konselor lain untuk dijadikan pilihan bagi klien.
Selain untuk klien dependen, rujukan juga merupakan langkah yang tepat bila konselor menyadari drinya tidak mampu atau tidak bisa menghadapi klien dengan karakteristik atau masalah tertentu. Setiap konselor memiliki keterbatasan yang harus bisa dipahami dan diterima oleh dirinya sendiri.
“Pamit” secara Formal (Formal Leave-Taking)
Konselor “pamit”kepada kliennya bahwa konseling sudah selesai. Diusahakan suasana menyenangkan dan penuh kepercayaan, menghargai klien yang sudah dating mempercayakan masalahnya untuk mendapat bantuan.
Konselor perlu menyadari bahwa langkah-langkah untuk terminasi yang sudah disebutkan ini akan menyebabkan terminasi berjalan dengan lancer. Klien mungkin mencoba beberapa usaha untuk dapat “berdiri-sendiri”, tetapi ada kalanya kemudian terpaksa harus kembali untuk konseling (kepada konselor yang sama atau konselor lain). (Jeanette Murad Lesmana,2011. hlm.149-151).
E. Pengaruh dan Perkembangan Terapi Client-Centered
1. Pengaruh
Aplikasi dan pengaruh pendekatan ini mengacu kepada isu-isu kekuasaan dan politik, yaitu tentang bagaimana manusia mendapatkan, memiliki, membagi atau menyerahkan kekuasaan dan kontrol atas orang lain dan atas dirinya, maka pendekatan ini lebih dikenal sebagai pendekatan yang berpusat kepada manusia (Person-centered approach) atau (Person-centered therapy). Pendekatan ini dikembangkan atas dasar pertimbangan perlunya mendudukan individu dalm konseling sebagai personal dengan kapasitas positifnya (Thompson, et.al.,2004 & Corey, 1986). Rogers berasumsi bahwa manusia pada dasarnya dapat dipercaya dan memiliki potensi untuk memahani dirinya sendiri dan mengatasi tanpa intervensi langsung dari terapis serta manusia memiliki potensi untuk berkembang (Corey, 1986).
2. Perkembangan Teori
Garis besar evolusi teori Rogers. Hart (1970) membagi perkembangan teori Rogers ke dalam tiga periode sebagai berikut:
Periode 1 (1940-1950): Psikoterapi non-direktif
Pendekatan ini menekankan penciptaan iklim permisif dan nonintervertif. Penerimaan dan klarifikasi menjadi teknik-teknik yang utama. Melalui terapi nondirektif, klien akan mencapai pemahaman atas dirinya sendiri dan atas situasi kehidupannya.
Periode 2 (1950-1957): Psikoterapi Reflektif
Terapi terutama merefleksikan perasaan-perasaan klien dan menghindari ancaman dalam hubungan dengan kliennya. Melalui terapi reflektif, klien mampu mengembangkan keselarasan antara konsep diri dan konsep diri idealnya.
Periode 3 (1957-1970): Terapi Eksperiensial
Tingkah laku yang luas dari terapis yang mengungkapkan sikap-sikap dasarnya menandai pendekatan terapi eksperiensial ini. Terapi difokuskan pada apa yang sedang dialami oleh klien dan pada pengungkapan apa yang sedang dialami oleh terapi. Klien tubuh pada suatu rangkaian keseluruhan (continuum) dengan belajar menggunakan apa yang sedang dialami
Dalam tiga puluh tahun terakhir, terapi client-centered telah bergeser ke arah lebih banyak membawa kepribadian terapis ke dalam proses terapeutik. Pada periode paling awal, terapi non-direktif secara nyata menghindarkan diri dari interaksi dengan klien. Terapi berfungsi sebagai penjernih, terapi tidak menampilkan kepribadiannya sendiri. Pada periode ini, teknik-teknik seperti sejarah kasus, tes psikologi, dan diagnosis tidak menjadi bagian dari proses terapeutik karena kasemuanya berlandaskan pedoman-pedoman eksternal: terapi client-centered mengandalkan dorongan pertumbuhan bawaan klien.
Kemudian, terapi beralih dari penekanan kognitif kepada klarifikasi, yang mengarah kepada pemahaman. Ciri periode psikoterapi reflektif yang menandai perubahan dalam praktek terapi yang aktual adalah penekanan pada pemberian respons secara peka terhadap unsur afektif alih-alih pada unsur sematik dari ungkapan klien (Hart, 1970, hlm. 8). Peran terapis dirumuskan ulang, penekanan diperbesar pada ketanggapan terapis terhadap perasaan-perasaan klien. Terapis merefleksikan perasaan-perasaan yang semata-mata menejelaskan komentar-komentar klien. Untuk menunjang reorganisasi konsep diri klien, terapis menjankan tugas dasar menghilangkan sumber-sumber ancaman dari hubungan terapeutik dan berfungsi sebagai cermin sehingga klien bisa memahami dunianya sendiri dengan lebih baik (Hart, 1970). terapis sebagai pribadi tetap tersembunyi dalam rumusan ini.
Pada periode berikutnya, terapi eksperiensial menitik beratkan kondisi-kondisi tertentu yang “diperlukan dan memadai” bagi kelangsungan perubahan kepribadian. Periode ini memperkenalkan unsur-unsur penting dari sikap-sikap terapis, yakni keselarasan, pandangan dan penerimaan positif, dan pengertian yang empatik sebagai prasyarat-prasyarat bagi terapi yang efektif. Kemudian, fokus alihkan dari refleksi terapis atas perasaan-perasaan klien kepada tindakan terapis mengungkapkan perasaan-perasaan langsungnya sendiri dalam hubungan dengan klien. Rumusan yang mutakhir memberikan tempat pada lingkup yang lebih luas dan keluwesan lebih besar dari tingkah laku terapis, mencakup pengungkapan-pengungkapan atau pendapat-pendapat, perasaan-perasaan, dan sebagainya yang pada periode-periode sebelumnya tidak diharapkan mucul.
Fokus pada pengalaman langsung dari terapis mengarahkan terapis kepada pengungkapan perasaaan-perasaannya sendiri terhadap klien jika dianggap pantas dan lebih dari periode-periode sebelumnya, mengizinkan terapis untuk membawa kepribadiannya sendiri. Rumusan-rumusan awal dari pandangan client-centered menuntut terapis agar mampu menahan diri dari keinginan memasukkan nilai-nilai dan penyimpangannya sendiri ke dalam hubungan terapeutik. Terapis menjauhi prosedur-prosedur yang umum digunakan seperti penetapan tujuan-tujuan, pemberian saran, yang umum digunakan seperti penetapan tujuan-tujuan, pemberian saran, penafsiran tingkah laku, dan pemilihan topik-topik yang akan dieksplorasi. Bagaimanapun, rumusan yang mutakhir mengarahkan dirinya sendiri pada pengurangan larangan-larangan tersebut di atas dan membenarkan terapis untuk lebih bebas dan aktif berpastisipasi dalam hubungan dengan klien dalam rangka menciptakan suatu atmosfer di mana klien merasa sepenuhnya diterima, apapun teknik untuk gaya yang digunakan oleh terapis.






BAB III
PENUTUP
A. Analisis
Pendekatan client­centered berasumsi bahwa manusia mencari bantuan psikologis diperlakukan sebagai klien yang bertanggung jawab yang memiliki kekuatan untuk mengarahkan dirinya. Setelah itu, Rogers mengembangkannya dengan lebih luas dan menjangkau populasi yang lebih bervariasi seperti dalam keluarga dan pasangan, kelompok minoritas, kelompok antar ras dan antar kultur serta dalam hubungan internasional (Rogers, 1970 dalam Corey, 1986). Sehingga memberikan sumbangan-sumbangan kepada situasi-situasi konseling individual maupun kelompok atau dengan kata lain memiliki beberapa kelebihan diantara terapi-terapi lainnya, antara lain:
1. Memberikan landasan humanistik bagi usaha memahami dunia subjektif klien, memberikan peluang yang jarang kepada klien untuk sungguh-sungguh didengar dan mendengar.
2. Mereka bisa menjadi diri sendiri, sebab mereka tahu bahwa mereka tidak akan di evaluasi dan dihakimi.
3. Mereka akan merasa bebas untuk bereksperimen dengan tingkah laku baru.
4. Mereka dapat diharapkan memikul tanggung jawab atas diri mereka sendiri, dan merekalah yang memasang langkah dalam konseling.
5. Mereka yang menetapkan bidang-bidang apa yang mereka ingin mengeksplorasinya di atas landasan tujuan-tujuan bagi perubahan.
6. Pendekatan client-centered menyajikan kepada klien umpan balik langsung dan khas dari apa yang baru dikomunikasikannya.
7. Terapis bertindak sebagai cermin, mereflesikan perasaan-perasaan kliennya yang lebih dalam.
Jadi kesimpulanya, bahwa klien memiliki kemungkinan untuk mencapai fokus yang lebih tajam dan makna yang lebih dalam bagi aspek-aspek dari struktur dirinya yang sebelumnya hanya diketahui sebagian oleh klien. Perhatian klien difokuskan pada banyak hal yang sebelunya tidak diperhatikannya. Klien oleh karenanya bisa meningkatkan sendiri keseluruhan tindakan mengalaminya.
Adapun terapi client-centered ini memiliki kelemahan yang terletak pada beberapa hal berikut ini:
1. Cara sejumlah pemratek menyalahtafsirkan atau menyederhanakan sikap-sikap sentral dari posisi client-centered.
2. Tidak semua konselor bisa mempraktekan terapi client-centered, sebab banyak konselor yang tidak mempercayai filsafat yang melandasinya.
3. Membatasi lingkup tanggapan dan gaya konseling mereka sendiri pada refleksi-refleksi dan mendengar secara empatik.
4. Adanya jalan yang menyebabkan sejumlah pemraktek menjadi terlalu terpusat pada klien sehingga mereka sendiri kehilangan rasa sebagai pribadi yang unik.
Melihat beberapa kelemahan dari pendekatan client-centered di atas perlu adanya rekomendasi. Memang secara paradoks terapis dibenarkan berfokus pada klien sampai batas tertentu, sehingga menghilangkan nilai kekuatannya sendiri sebagai pribadi, dan oleh karena itu kepribadiannya kehilangan pengaruh. Terapis perlu menggarisbawahi kebutuhan-kebutuhan dan maksud-maksud klien, dan pada saat yang sama ia bebas membawa kepribadiannya sendiri ke dalam pertemuan terapi.
Jadi, orang bisa memiliki kesan bahwa terapi client-centered tidak lebih dari pada teknik mendengar dan merefleksikan. Tetapi client-centered berlandaskan sekumpulan sikap yang dibawa oleh terapis kedalam pertemuan denga kliennya, dan lebih dari kualitas lain yang mana pun, kesejatian terapis menentukan kekuatan hubungan terapeutik. Apabila terapis menyembunyikan identitas dan gayanya yang unik dengan suatu cara yang pasif dan nondirektif, ia bisa jadi tidak akan merugikan klien, tetapi bisa jadi juga tidak akan sungguh-sungguh mampu mempengaruhi klien dengan suatu cara yang positif. Ke otentikan dan keselarasan terapis demikian vital sehingga terapis yang berpraktek dalam kerangka client-centered harus wajar dalam bertindak dan harus menemukan suatu cara mengungkapkan reaksi-reaksinya kepada klien. Jika tidak demikian, maka kemungkinan yang nyata adalah: terapi client-centered akan dikecilkan menjadi suatu corak kerja yang ramah dan aman, tetapi tidak membuahkan hasil.
B. Kesimpulan
Client-centered, yaitu cara mengungkapkan tekanan batin yang dirasakan menjadi penghambat dengan sistem pancingan yang berupa satu-dua pertanyaan yang terarah. Selanjutnya klien diberi kesempatan seluas-luasnya untuk menceritakan segala uneg-uneg (tekanan batin) yang disadari menjadi hambatan jiwanya, pembimbing/ konselor dan atau terapis bersikap memperhatikan dan mendengarkan serta mencaat poin-poin yang penting yang dianggap rawan untuk diberi bantuan. Pada titik kesimpulan terakhir, pembimbing tidak memberikan pengarahan atau komentar apa-apa, melainkan bersikap menunjukkan kelemahan atau hambatan apa yan sebenarnya dialami oleh klien lewat test atau cara lain.
Terapi client-centered berlandaskan suatu filsafat tentang manusia yang menekankan bahwa kita memiliki dorongan bawaan kepada aktualisasi diri. Selain itu, Rogers memandang manusia secara fenomenologis, yakni ia baranggapan bahwa manusia menyusun dirinya sendiri menurut persepsinya-persepsinya tentang kenyataan. Orang termotivasi untuk mengaktualkan diri dalam kenyataan yang dipersepsinya.
Teori Rogers berlandaskan dalil bahwa klien memiliki kesanggupan untuk memahami faktor-faktor yang ada dalam hidupnya yang menjadi penyebab ketidakbahagiaan. Klien juga memiliki kesanggupan untuk mengarahka diri dan melakukan perubahan pribadi yang konstruktif. Perubahan pribadi akan timbul jika terapis yang selaras bisa membangun hubungan dengan kliennya, suatu hubungan yang ditandai oleh kehangatan, penerimaan, dan pengertian empatik yang akurat. Konseling terapeutik barlandaskan hubungan Aku-Kamu, atau hubungan pribadi-ke-pribadi dalam keamanan dan penerimaaan yang mendorong klien untuk menanggalkan perthanan-pertahanannya yang kaku serta menerima dan mengintegrasikan aspek-aspek dari sistem dirinya yang sebelumnya diingkari atau didistorsi.
Terapi client-centered menempatkan tanggung jawab utama terhadap arah terapi pada klien. Tujuan-tujuan umumnya ialah: menjadi lebih terbuka kapada pengalaman, mempercayai organismenya sendiri, mengembangkan evaluasi ineternal, kesediaan untuk menjadi suatu proses, dan dengan cara-cara lain bergerak menuju taraf-taraf yang lebih tinggi dari aktualisasi diri. Terapis tidak mengajukan tujuan-tujuan dan nilai-nilai yang spesifik kepada klien; klien sendirilan yang menetapkan tujuan-tujuan dan nilai-nilainya hidupnya yang spesifik.
Terapi client-centered menitikberatkan hubungan pribadi antara klien dan terapis. Sikap-sikap terapis lebih penting dari pada teknik-teknik, pengetahuanm atau teori. Jika terapis menunjukkan dan mengomunikasikan kepada kliennya bahwa terapis adalah pribadi yang selaras, secara hangat dan tak bersyarat menerima perasaan-perasaan dan kepribadian klien, dan mampu mempersepsi secara peka dan tepat dunian internal klien sebagaimana klien mempersepsi dunia internalnya itu, maka klien bisa menggunakan hubungan terapeutik untuk memperlancar pertumbuhan dan menjadi pribadi yang dipilihnya.











DAFTAR PUSTAKA
Corey, Gerald. 2010. Teori dan Praktek Konseling & Psokoterapi. Bandung: Refika Aditama.
Lesmana, Jeanette Murad. 2011. Dasar-dasar Konseling. Jakarta : UI-Press
Hidayat, Dede Rahmat. 2011. Teori Dan Aplikasi Psikologi Kepribadian Dalam Konseling. Bogor: Ghalia Indonesia.
Juntika. A. 2006. Bimbingan Konseling – Dalam Berbagai Latar Kehidupan. Bandung: PT. Refika Aditama.
Jurnal Model Pendekatan Konseling Client-centered dan Penerapannya dalam Praktik oleh Ulfa Danni Rosada
Boharudin.Skripsi: Penerapan Teori Client-centered dalam Konseling. UIN Sultan Syarif Kasim Riau. 2013
Syamsu Yusuf, Achmad Juntika. Teori Kepribadian. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2011














                 

Tugas Besar ICT

Holaaa, ini link Tugas Besar ICT 2018 saya. Boleh disimak, tapi jangan dicopas:) terimakasih TubesICT_Novia Fauziyah KS_F7