Segala puji bagi Allah yang telah mencurah limpahkan rahmat dan inayah-Nya kepada kami sehingga kami bisa menyelesaikan tugas ini dengan baik. Tak lupa, sholawat serta salam semoga selalu terlimpah curah kepada junjunan Nabi besar Muhammad SAW. Kami bersyukur akhirnya makalah ini dapat terselesaikan dengan baik walaupun kami mengetahui pasti banyak kekurangan di dalamnya.
Makalah kami kali ini dibuat untuk memenuhi tugas terstruktur dari matakuliah Pengantar Psikoterapi yang diampu oleh Bapak Dr. H. Isep Zaenal Arifin, M.Ag berkat beliau kami bisa menggali lebih dalam mengenai terapi konseling dan lebih khususnya mengenai terapi Client-Centered, termasuk kali ini kami akan membahas mengenai teori, sejarah beserta prosesnya. Selesainya makalah kami kali ini tak lepas dari bantuan berbagai buku yang telah kami baca, beserta makalah-makalah yang ada di internet dengan patokan-patokan yang telah disampaikan oleh dosen kami. Untuk itu kami sangat berterimakasih pada rekan-rekan dan pihak lain yang telah membantu kami menyelesaikan tugas ini.
Di balik itu semua, kami menyadari bahwa banyak kesalahan yang terdapat di dalam makalah ini, baik itu dari segi materi, tata bahasa maupun struktur kepenulisan. Oleh karena itu, kami sangat menerima berbagai saran maupun pendapat dari pembaca semua agar kami bisa membuat makalah yang lebih baik lagi kedepannya.
Akhir kata, kami berharap semoga makalah ini dapat menginspirasi dan juga bermanfaat bagi pembaca semua, dan khususnya dapat bermanfaat bagi penulis pula. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.
Bandung, 4 April 2018
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 4
C. Tujuan dan Manfaat 4
BAB II PEMBAHASAN 5
A. Pengertian Terapi Client-centered 5
B. Sejarah Kelahiran Dan Tokoh-Tokoh Client-centered 5
1. Sejarah Kelahiran 5
2. Tokoh-Tokoh Terapi Client-centered 7
C. Pokok-Pokok Pemikiran Terapi Client-Centered 10
1. Filsafat Dasar Manusia Dalam Pandangan Terapi Client-centered 10
2. Konsep Utama Dalam Terapi Clien Centered 11
3. Tujuan Terapi Client-centered 11
4. Hubungan Terapeutik Dalam Terapi Client-centered 12
D. Proses dan Tahapan Terapi 15
1. Fase Pra Interaksi 15
2. Fase Terapi 18
3. Fase Terminasi atau Closing 19
E. Pengaruh dan Perkembangan Terapi Client-Centered 21
1. Pengaruh 21
2. Perkembangan Teori 21
BAB III PENUTUP 24
A. Analisis 24
B. Kesimpulan 26
DAFTAR PUSTAKA 28
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbagai masalah tentu saja dialami oleh kalangan masyarakat yang ada di dunia. Tak ayal, mereka mencari jalan keluar untuk mengatasi masalah yang sedang dialaminya itu. Sebagai makhluk sosial atau makhluk yang membutuhkan bantuan orang lain, tentu saja konseling menjadi salah satu jalan keluar dari masalah yang sedang diembannya. Hal tersebut menjadi sebuah pekerjaan yang amat penting agar manusia dapat mengeluarkan diri dari setiap masalah yang ada. Konselor sebagai sebuah profesi dalam kegiatan profesionalnya menggunakan cara-cara tertentu yang berbeda dengan profesi lain yang mempunyai tujuan yang sama, yaitu membantu penyelesaian masalah konseli. Keberadaan ditunjukkan pada ragam tindakan konselor dalam membantu konseli dalam bentuk layanan konseling.
Konseling sebagai cara membantu, memiliki bermacam-macam model dalam mendekati konseli beserta masalahnya. Kata “mendekati” atau pendekatan menunjuk pada aspek pribadi konseli yang ingin disentuh dan diberdayakan oleh konselor untuk mengatasi masalahnya yang mereka hadapi. Menurut Nelson (2011) model pendekatan konseling dalam judul pendekatannya, misalnya person centered therapy, gestalt therapy, rational emotive behavior therapy, cognitive therapy.
Client-Centered Theory sering pula dikenal sebagai teori non-direktiv atau berpusat pada pribadi. Client-Centered sebagai model pendekatan dalam konseling merupakan hasil pemikiran Carl Rogers. Rogers adalah seorang empirisme yang mendasarkan teori-teorinya pada data mentah, ia percaya pentingnya pengamatan subjektif, ia percaya bahwa pemikiran yang teliti dan validasi penelitian diperlukan untuk menolak kecurangan diri (self-deception). Yang mana Rogerian tidak hanya berisi pertanyaan-pertanyaan teori tentang kepribadian dan psikoterapi, tetapi juga suatu pendekatan, suatu orientasi atau pandangan tentang kehidupan.
Rogers (dalam Corey 2006: 7) mengemukakan bahwa:
Dalam konteks konseling, Rogers menemukan dan mengembangkan teknik konseling yang dikenal sebagai Client-Centered Therapy, yakni model terapi yang berpusat pada klien. Dibandingkan teknik terapi yang ada masa itu, teknik ini adalah pembaharuan karena mengasumsikan posisi yang sejajar antara konselor dan pasien atau klien. Hubungan konselor-klien diwarnai kehangatan, saling percaya, dan klien diberikan diperlakukan sebagai orang dewasa yang dapat mengambil keputusan sendiri dan bertanggungjawab atas keputusannya. Tugas konselor adalah membantu klien mengenali masalah dirinya sendiri sehingga akhrinya dapat menemukan solusi bagi dirinya sendiri.
Pendekatan konseling Client-Centered menekankan pada kecakapan klien untuk menentukan isu yang penting bagi dirinya dan pemecahan masalah dirinya. Konsep pokok yang mendasari adalah hal yang menyangkut konsep-konsep mengenai diri (self), aktualisasi diri, teori kepribadian, dan hakekat kecemasan. Menurut Roger (dalam Juntika, 2006:21) “konsep inti konseling berpusat pada klien adalah konsep tentang diri dan konsep menjadi diri atau pertumbuhan perwujudan diri”.
Inti dari konseling berpusat pada klien ini adalah tentang diri dan konsep menjadi diri atau pertumbuhan perwujudan diri. Dikatakan bahwa konsep atau struktur diri dipandang sebagai konfigurasi persepsi yang terorganisasikan tentang diri yang membawa kesadaran. Hal itu terdiri dari atas unsur-unsur persepsi terhadap karakteristik dan kecakapan seseorang, pengamatan dan konsep diri dalam hubungan dengan orang lain dan lingkungan dan cita-cita yang dipandang mempunyai kekuatan positif dan negatif. Rogers membangun teorinya ini berdasarkan penelitian dan observasi langsung terhadap peristiwa-peristiwa nyata, dimana pada akhirnya ia memandang bahwa manusia pada hakekatnya adalah baik.
Menurut Sayekti (1997), ada beberapa konsepsi Rogers tentang hakekat manusia adalah: (1) Manusia tumbuh melalui pengalamannya, baik melalui perasaan, berfikir, kesadaran ataupun penemuan. (2) Hidup adalah kehidupan saat ini dan lebih dari pada perilaku- perilaku otomatik yang ditentukan oleh kejadian-kejadian masa lalu, nilai-nilai kehidupan adalah saat ini dari pada masa lalu, atau yang akan datang. (3) Manusia adalah makhluk subjektif, secara esensial manusia hidup dalam pribadinya sendiri dalam dunia subjektif. (4) Keakraban hubungan manusia merupakan salah satu cara seseorang paling banyak memenuhi kebutuhannya. (5) Pada umumnya setiap manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan untuk bebas, spontan bersama-sama dan saling berkomunikasi. (6) Manusia memiliki kecenderungan ke arah aktualisasi, yaitu tendensi yang melekat pada organisme untuk mengembangkan keseluruhan kemampuannya dalam cara memberi pemeliharaan dan mempertinggi aktualisasi diri.
Manusia dalam pandangan Rogers menurut Hidayat (2011) adalah (1) ia memandang manusia terisolasi dan bergerak ke depan, berjuang untuk berfungsi penuh, serta memiliki kebaikan. Manusia pada dasarnya dapat dipercayai, kooperatif, dan konstruktif, tidak perlu melakukan pengendalian terhadap dorongan-dorongan agresif yang dimilikinya. (2) manusia juga memiliki kemampuan menentukan nasibnya sendiri, dapat dipercaya dan mengejar kesempurnaan diri. Asumsinya Rogers tentang manusia adalah bahwa manusia itu bebas, rasional, utuh, mudah berubah, subjektif, proaktif, tetapi heterostatis dan sulit dipahami. (3) Rogers percaya dan optimis dengan sifat alami manusia. Dorongan paling besar pada manusia adalah aktualisasi diri yaitu memelihara, menegakkan, mempertahankan diri dan meningkatkan diri dengan memberikan kesempatan terhadap individu untuk berkembang dalam gerak maju dan memiliki cara untuk menyesuaikan diri
Peran konselor dalam model pendekatan konseling Client-Centered adalah : (1) Konselor tidak memimpin, mengatur atau menentukan proses perkembangan konseling, tetapi hal tersebut dilakukan oleh klien itu sendiri, sehingga ia dapat menentukan pilihan hidup mana yang akan diambilnya. (2) Konselor merefleksikan perasaan-perasaan klien, sedangkan arah pembicaraan ditentukan oleh klien. (3) Konselor menerima klien dengan sepenuhnya dalam keadaan seperti apapun. (4) Konselor memberi kebebasan pada klien untuk mengeksperisikan perasaan-perasaan sedalam-dalamnya.
B. Rumusan Masalah
Makalah ini menyinggung beberapa permasalahan yang terdiri atas :
1. Apakah pengertian dari Client-Centered?
2. Bagaimana sejarah Kelahiran dan Tokoh Terapi Client-Centered?
3. Bagaimana Pokok-Pokok Pemikiran Terapi Client-Centered?
4. Bagaimana Proses dan tahapan terapi Client-Centered?
5. Apakah pengaruh dan perkembangan dari terapi Client-Centered?
C. Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari makalah ini ialah:
1. Mengetahui pengertian dari Client-Centered
2. Mengetahui sejarah Kelahiran dan Tokoh Terapi Client-Centered
3. Mengetahui Pokok-Pokok Pemikiran Terapi Client-Centered
4. Mengetahui Proses dan Tahapan Terapi Client-Centered
5. Mengetahui pengaruh dan perkembangan dari terapi Client-Centered
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Terapi Client-centered
Client-centered, yaitu cara mengungkapkan tekanan batin yang dirasakan menjadi penghambat dengan sistem pancingan yang berupa satu-dua pertanyaan yang terarah. Selanjutnya klien diberi kesempatan seluas-luasnya untuk menceritakan segala uneg-uneg (tekanan batin) yang disadari menjadi hambatan jiwanya, pembimbing/ konselor dan atau terapis bersikap memperhatikan dan mendengarkan serta mencaat poin-poin yang penting yang dianggap rawan untuk diberi bantuan. Pada titik kesimpulan terakhir, pembimbing tidak memberikan pengarahan atau komentar apa-apa, melainkan bersikap menunjukkan kelemahan atau hambatan apa yan sebenarnya dialami oleh klien lewat test atau cara lain.
Carl L. Rogers mengembangkan terapi client-centered sebagai reaksi terhadap apa yan disebutnya keterbatasan-keterbatasan mendasar dari psikoanalisis. Pada hakikatnya, pendekatan client-centered adalah cabang khusus dari terapi humanistik yang menggaris bawahi tindakan klien berikut dunia subjektif fenomenalnya. Terapis berfungsi terutama sebagai penunjang pertumbuhan pribadi kliennya dengan jalan membantu kliennya ini dalam menemukan kesangguapan-kesanggupan untuk memecahkan masalah-masalah. Pendekatan client-centered menaruh kepercayaan yang besar pada kesanggupan klien untuk mengikuti jalan terapi dan menemukan arahnya sendiri.
B. Sejarah Kelahiran Dan Tokoh-Tokoh Client-centered
1. Sejarah Kelahiran
Menurut sejarah kelahirannya, terapi yang berpusat pada orang/klien disebut dengan terapi humanistik yang dikembangkan Carl R.Rogers(salah satu psikolog klinis yang menekuni bidang konseling dan terapi) sebagai konseling yang dipusatkan pada klien (Ahmad Bahrul, 2002:152) pada pertengahan abad ke-20.
Kemudian, dari latar belakang pekerjaannya yang berfokus pada anak, Carl Ransom Rogers (1902-1987) pada awal tahun 1940 mengembangkan teori yang disebut non-directive counseling (konseling non-direktif) sebagai reaksi atas pendekatan yang direktif dan pendekatan psikoanalitik. Rogers menentang asumsi dasar bahwa “konselor tahu apa yang terbaik“.
Pada masa itu aliran Psikoanalisis sangat dominan, dengan tujuan membuat sadar hal-hal yang tidak disadari dan menekankan pada masa lalu. Rogers mencoba menekankan pada masa kini dan membantu klien memperjelas persepsi mereka mengenai diri sendiri dengan interpretasi dari terapis. Kemudian Rogers mengubah nama pendekatannya menjadi terapi client-centered pada tahun 1950 dan kemudian mengubahnya lagi menjadi person-centered tahun 1951.
Dia juga menentang kesahihan dari prosedur terapeutik yang telah secara umum bisa diterima seperti nasehat, saran, himbauan, pemberian pengajaran, diagnosis, dan tafsiran. Didasarkan pada keyakinannya bahwa konsep dan prosedur diagnostik kurang memadai, berprasangka, dan sering kali disalahgunakan, maka pendekatannya tidak dengan menggunakan cara tersebut. Konselor non-direktif menghindar dari usaha untuk melibatkan dirinya dengan urusan klien, dan sebagai gantinya mereka memfokuskan terutama pada merefleksi dan komunikasi verbal dan non verbal pada klien.
Kaitan Terapi dengan pendekatan Client-centered dengan terapi lainnya
Terapi Client-centered ini menurut Carl Rogers merupakan reaksi terhadap apa yang disebutkannya keterbatasan-keterbatasan medasar dari psikoanalisis. Pada hakikatnya, pendekatan client-centered adalah cabang khusus dari terapi humanistik yang menggarisbawahi tindakan mengalami klien berikutnya dunia subjektif dan fenomenalnya. Terapis berfungsi terutama sebagai penunjang pertumbuhan pribadi kliennya dengan jalan membantu kliennya itu dalam menemkan kesanggupan-kesanggupan untuk memecahkan masalah. Pendekatan Client-centered menaruh kepercayaan yang besar pada kesanggupan klien untuk mengikuti jalan terapi yang menemukan arahnya sendiri (Gerald Corey, 2013:91).
2. Tokoh-Tokoh Terapi Client-centered
a. Carl Ransom Rogers
Carl Rogers dilahirkan di Oak Park, Illions, pada tanggal 8 Januari 1902. Dia anak dari pasangan Walter dan Julia. Keluarga Rogers dpandang sebagai penganut protestan konservaif. Pada tahun 1924 dia lulus dari Universitas Wisconsin dalam bidang pertanian. Pada tahun yang sama, yaitu pada tanggal 28 Agustus dia menikah dengan Hellen Elliot. Mereka dikaruniai dua anak, yaitu David dan Natalie. Mulai 1924-1926 dia masuk ke Union Teology Seminary, sebagai lembaga yang mengembangkan pandangan yang liberal dan filosofis dalam agama.Semasa mudanya, Rogers tidak memiliki banyak teman sehingga ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk membaca. Beliau amat menyukai petualangan. Ia pernah belajar di bidang agricultural dan sejarah di Universitas di Wisconsin.
Ia menaruh perhatian atas ilmu pengetahuan alam dan biologi. Pengaruh filsafat J. Deway mendorong Rogers masuk lembaga psikologi. Pada tahun 1923 mendapat gelar sarjana.
Pada tahun 1928 dia menerima gelar MA di Universitas Columbia, dan gelar Ph.D. pada tahun 1931 di Universitas yang sama dalam bidang psikologi pendidikan dan klinis. Selama tahun 1927 sampai 1928, Rogers memulai praktik pertamanya dalam psikologi klinis dan menjadi anggota institute Bimbingan Anak (Syamsu Yusuf dan Achmad Juntika, 2011:142). Pengalaman dalam bidang klinik psikologi dan psikoterapi diperoleh dari lembaga pembimbing anak-anak yang menganut pandangan Freud.
Pada tahun 1939, ia menerbitkan suatu tulisan berjudul “The Clinical Treatment of The Problem Child”, yang membuatnya mendapatkan tawaran sebagai professor pada fakultas Psikologi di Ohio State University tahun 1940. Perpindahan dari pekerjaan klinis ke suasana akademis ini dirasa oleh Rogers sendiri sangat tajam. Karena rangsangannya Rogers merasa terpaksa harus membuat pandangannya dalam psikoterapi itu menjadi jelas. Dan ini dikerjakannya pada 1942 dalam buku Counseling and Psychotheraphy. Hasil karya yang paling terkenal dari Rogers dan masih menjadi literature sampai saat ini adalah metode konseling yang disebut Client-centered Therapy.
Pada tahun 1945 Rogers menjadi mahaguru psikologi di University of Chicago, yang dijabatnya hingga kini. Tahun 1946-1957 menjadi Presiden The American Psychological Association. Dan meninggal dunia tanggal 4 Februari 1987 karena serangan jantung.
Rogers adalah salah satu peletak dasar dari gerakan potensi manusia, yang menekankan perkembangan pribadi melalui latihan sensitivitas, kelompok pertemuan, dan latihan lainnya yang ditujukan untuk membantuorang agar memiliki pribadi yang sehat. Dia membangun teorinya berdasarkan praktik interaksi terapeutik dengan para pasiennya. Karena dia menekankan teorinya kepada pandangan subjektif seseorang, maka teorinya dinamakan “personcentered theory” (Syamsu Yusuf dan Achmad Juntika, 2011:142).
Rogers terkenal sebagai seorang tokoh psikologi humanis, aliran fenomenologis-eksistensial, psikolog klinis dan terapis, ide-ide dan konsep teorinya banyak didapatkan dalam pengalaman-pengalaman terapeutiknya.
Ide pokok dari teori – teori Rogers yaitu individu memiliki kemampuan dalam diri sendiri untuk mengerti diri, menentukan hidup, dan menangani masalah–masalah psikisnya asalkan konselor menciptakan kondisi yang dapat mempermudah perkembangan individu untuk aktualisasi diri.
Menurut Rogers motivasi orang yang sehat adalah aktualisasi diri. Jadi manusia yang sadar dan rasional tidak lagi dikontrol oleh peristiwa kanak-kanak seperti yang diajukan oleh aliran Freudian, misalnya toilet trainning, penyapihan ataupun pengalaman seksual sebelumnya.
Rogers lebih melihat pada masa sekarang, dia berpendapat bahwa masa lampau memang akan mempengaruhi cara bagaimana seseorang memandang masa sekarang yang akan mempengaruhi juga kepribadiannya. Namun ia tetap berfokus pada apa yang terjadi sekarang bukan apa yang terjadi pada waktu itu.
Rogers dikenal juga sebagai seorang fenomenologis, karena ia sangat menekankan pada realitas yang berarti bagi individu. Realitas tiap orang akan berbeda–beda tergantung pada pengalaman–pengalaman perseptualnya. Lapangan pengalaman ini disebut dengan fenomenal field. Rogers menerima istilah self sebagai fakta dari lapangan fenomenal tersebut.
Konstruk (Aspek-aspek) Kepribadian
Rogers menggambarkan pribadi yang berfungsi sepenuhnya adalah pribadi yang mengalami penghargaan positif tanpa syarat. Ini berarti dia dihargai, dicintai karena nilai adanya diri sendiri sebagai person sehingga ia tidak bersifat defensif namun cenderung untuk menerima diri dengan penuh kepercayaan. Konsepsi-konsepsi pokok dalam teori Rogers adalah (Syamsu Yusuf dan Achmad Juntika, 2011:143):
1) Organisme, yaitu keseluruhan individu (the total individual). Dapat dikatakan pula sebaga makhluk fisik (Physical Creature) dengan semua fungsi-fungsinya, baik fisik maupun psikis. Organisme memiliki sifat-sifat berikut:
• Organisme beraksi sebagai keseluruhan terhadap medan phenomenal dengan maksud memenuhi kebutuhankebutuhannya.
• Organisme mempunyai satu motif dasar yaitu: mengaktualisasikan, mempertahankan dan mengembangkan diri.
• Organisme mungkin melambangkan pengalamannya, sehingga hal itu disadari, atau mungkin menolak pelambangan itu, sehingga pengalaman-pengalaman itu tak disadari, atau mungkin juga organisme itu tak memperdulikan pengalaman-pengalamannya.
2) Medan phenomenal, yaitu keseluruhan pengalaman (the totality of experience). Medan phenomenal punya sifat disadari atau tak disadari, tergantung apakah pengalaman yang mendasari medan phenomenal itu dilambangkan atau tidak.
3) Self, yaitu bagian medan phenomenal yang terdiferensiasikan dan terdiri dari pola-pola pengamatan dan penilaian sadar daripada “I” atau “me”. Self ini merupakan konstruk utama dalam teori kepribadian Rogers, yang dewasa ini dikenal dengan “self concept”. Self mempunyai bermacam-macam sifat:
a) Self berkembang dari interaksi organisme dengan lingkungan.
b) Self mungkin menginteraksikan nilai-nilai orang lain dan mengamatinya dalam cara (bentuk) yang tidak wajar.
c) Self mengejar (menginginkan) consistency (keutuhan/kesatuan, keselarasan).
d) Organisme bertingkah laku dalam cara yang selaras (consistent) dengan self.
e) Pengalaman-pengalaman yang tak selaras dengan stuktur self diamati sebagai ancaman.
f) Self mungkin berubah sebagai hasil dari pematangan (maturation) dan belajar.
Hubungan antara ‘self concept” dengan organisme terjadi dalam dua kemungkinan, yaitu “congruence” dan “incongruence”. Kedua kemungkinn hubungan ini menentukan perkembngan kematangan, penyesuain (adjustment), dan kesehatan mental (mental health) seseorang.
C. Pokok-Pokok Pemikiran Terapi Client-Centered
1. Filsafat Dasar Manusia Dalam Pandangan Terapi Client-centered
Terapi dengan model client-centered ini memandang manusia secara positif; Manusia memiliki suatu kecenderungan ke arah menjadi berfungsi penuh. Dalam konteks hubungan terpeutik, klien mengalami perasaan-perasaan yang sebelumnya diingkari. Klien mengaktualkan potensi dan bergerak ke arah meningkatkan kesadaran, spontanitas, kepercayaan kepada diri, dan keterarahan alam.
Pandangan tentang manusia yang positif ini memiliki implikasi-implikasi yang berarti bagi praktik terapi client-centered. Berkat pandangan filosofis bahwa individu memiliki kesangguapan yang inheren untuk menjauhi maladjustment menuju keadaan psikologis yang sehat, teapis meletakkan tanggungjawab utamanya bagi proses terapi pada klien. Model terapi client-centered ini menolak konsep yang memandang bahwa terapis sebagai otoritas yang mengetahui yang terbaik dan memandang klien sebagai manusia pasif yang hanya mengikuti perintah-perintah terapis. Oleh karena itu, terapi client-centered berakar pada kesanggupan klien untuk sadar dan membuat putusan-putusan.
2. Konsep Utama Dalam Terapi Client-Centered
Terapi client-centered meyakini bahwa klien memiliki kemampuan untuk menjadi sadar atas masalah-masalahnya serta cara-cara mengatasinya. Kepercayaan diletakkan pada kesanggupan klien untuk mengarahkan dirinya sendiri. Kesehatan mental adalah kesadaran antara diri ideal dan diri real. Maladujstmen adalah akibat dari kesenjangan antara diri ideal dan diri real. Berfokus pada saat sekarang serta pada mengalami dan mengekspresikan perasaan-perasaan.
Terapis akan memberikan sikap-sikap dasar dan pengertian kepada klien. Melalui pandangan positif dari terapis, klien diharapkan mampu menanggalkan tuntutan-tuntutannya yang tak wajar serta mengeksplorasi secara lebih penuh dan bebas dari kesulitan-kesulitan pribadinya.
Pendekatan client-centered difokuskan kepada tanggung jawab dan kesanggupan klien untuk menemukan cara-cara menghadapi kenyataan secara lebih penuh. Klein, sebagai orang yang paling mengetahui dirinya sendiri, adalah orang yang harus menemukan tingkah laku yang lebih pantas bagi dirinya.
Jadi, client-centered bukanlah sekumpulan teknik, juga bukan suatu dogma. Pendekatan client-centered, yang berakar pada sekumpulan sikap dan kepercayaan yang ditunjukkan oleh terapis, barangkali paling tepat dicirikan sebagai suatu cara ada dan sebagai perjalanan bersama dimana baik terapis maupun klien memperlihatkan kemanusiawiannya dan berpartisipasi dalam pengalaman pertumbuhan.
3. Tujuan Terapi Client-centered
Adapun tujuan dari terapi client-centered ini yaitu menyediakan suatu iklim yang aman dan kondusif bagi eksplorasi diri klien sehingga ia mampu menyadari penghambat-penghambat pertumbuhan dan aspek-aspek pengalaman diri yang sebelumnya diingkari atau didisiorsinya. Membantu klien agar mampu bergerak ke arah keterbukaan terhadap pengalaman serta meningkatkan spontanitas dan perasaan hidup.
Tujuan dasar dari terapi client-centered adalah menciptakan iklim yang kondusif bagi usaha membantu klien untuk menjadi seorang pribadi yang berfungsi penuh. Guna mencapai tujuan terapeutik tersebut, terapis perlu mengusahakan agar klien bisa memahami hal-hal yang ada dibalik topeng yang dikenakannya. Klien mengembangkan kepura-puraan dan bertopeng sebagai pertahanan terhadap ancaman.
Terapis client-centered akan menaruh kepercayaan kepada kemampuan klien untuk menemukan jalannya sendiri dan mempercayai bahwa dalam dirinya sendiri memiliki sumber-sumber yang diperlukan bagi pertumbuhan pribadinya. Oleh karena itu pula terapi client-centered tidak akan menitikberatkan pada diagnosis atau penggalian untuk memperoleh informasi dari masa lampau klien. Dalam model terapi ini, terapis akan memberikan kebebasan dan rasa aman kepada klien untuk mengeksplorasi aspek-aspek yang mengancam dari dirinya dan menahan diri dari keinginan menghakimi dan mengkritik atas perasaan-perasaan yang dimilikinya. Terapis client-centered akan berusaha untuk mengalami sepenuhnya pada saat sekarang bagaimana hidup dalam dunia klien.
4. Hubungan Terapeutik Dalam Terapi Client-centered
Hubungan terapis klien sangat penting. Kualitas-kualitas terapis yang mencakup kehangatan, empati yang akurat, respek, sikap permisif, dan kemampuan mengkomunikasikan sikap-sikap tersebut kepada klien, sangat ditekankan. Klien menggunakan hubungan yang nyata dengan terapis untuk menerjemahkan belajar diri ke dalam hubungan-hubungan yang lain.
Hubungan terapeutik melibatkan ciri-ciri dari terapis maupun klien. Tingkat perhatian terapis, minat dan kemampuannya dalam membantu klien, serta ketulusannya adalah faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan. Konseling atau psikoterapi adalah perkara pribadi yang melibatkan hubungan pribadi, dan bukti menunjukkan bahwa kejujuran, keutulusan, penerimaan, kehangatan, pengertian, dan spontanitas adalah bahan-bahan dasar bagi terapi yang berhasil.
Adapun ciri-ciri hubungan terapeutik serta sikap-sikap utama seorang terapi client-centered yang kondusif bagi penciptaan iklim psikologi yang layak menurut Carl Roger (1967) sebagai berikut :
a. Dua orang dalam hubungan psikologis.
b. Orang pertama, yang akan kita sebut klien, ada dalam keadaan tidak selaras, peka, dan cemas.
c. Orang yang kedua, yang akan kita sebut terapis, ada dalam kedaan selaras atau terintegrasi dalam berhubungan.
d. Terapis merasakan perhatian positif tak bersyarat terhadap klien.
e. Terapis merasakan pengertian yang empatik terhadap kerangka acuan internal klien dan berusaha mengkomunikasikan perasaannya ini kepada klien.
f. Komunikasi pengertian empatik dan rasa hormat yang positif tak bersyarat dari terapis kepada klien setidak-tidaknya dapat dicapai.
Ada tiga ciri atau sikap pribadi terapis yang membentuk bagian tengah hubungan terapeutik, dan karenanyaa juga dari proses terapeutik, yaitu:
a. Keselarasan atau Kesejatian
Keselarasan adalah ciri yang paling penting. Keselarasan menyiratkan bahwa terapis tampil nyata, yang berarti sejati, terintegrasi, dan otentik selama pertemuan terapi. Terapis yang otentik bersikap spontan dan terbuka dalam menyatakan perasaan-perasaan dan sikap-sikap yang ada pada dirinya, baik yang negatif, maupun yang positif.
Melalui pengungkapan (dan penerimaan) perasaan-perasaan tertentu yang negatif, terapis menunjang komunikasi yang jujur dengan klien. Melalui hubungan pribadi-kepribadi, terapis akan bekerja ke arah pemenjadian dan aktualisasi dirinya sekaligus kea rah pertumbuhan klien.
Terapi client-centered, bagaimanapun, menekankan nilai hubungan yang noneksploatatif dan otentik serta nilai potensial dari umpan balik yang terbuka dan jujur ketika komunikasi yang bermakna terhambat. Terapi client-centered juga menekankan bahwa terapi akan terhambat jika terapis merasakan perasaan tertentu terhadap klien, tetapi dia melakukan tindakan yang berbeda dengan perasaannya itu. Jadi, jika terapis tidak suka atau tidak menyetujui klien, tetapi menunjukkan penerimaan terhadap kliennya, maka terapi tidak akan berlangsung dengan baik.
Konsep keselarasan terapis tidak mengandung implikasi bahwa hanya terapis yang mengaktualkan diri secara penuhlah yang bisa menjalankan terapi secara efektif. Karena terapis itu adalah seorang manusia biasa, maka dia tidak bisa diharapkan untuk sepenuhnya otentik. Model client-centered berasumsi bahwa jika terapis selaras dalm hubungannya dengan klien, maka proses terapeutik bisa berlangsung.
b. Perhatian Positif Tak Bersyarat
Sikap kedua yang harus diberikan oleh terapis kepada klien adalah perhatian yang mendalam dan tulus. Dengan kata lain, perhatian tak bersyarat itu yakni tidak dicampuri oleh evaluasi atau penilaian terhadap perasaan-perasaan, pemikiran-pemikiran, dan tingkah laku klien sebagai baik atau buruk. Terapis menilai dan menerima klien secara hangat tanpa menaruh persyaratan-persyaratan pada penerimannya itu. Penerimaan berarti pengakuan terhadap klien untuk memiliki perasaan-perasaan, bukan persetujuan atas semua tingkah laku.
Konsep perhatian tidak bersyarat ini tidak menyiratkan ciri “ada atau tiada sama sekali”. Seperti halnya keselarasan, perhatian tak bersyarat adalah suatu unsur yang berada pada suatu kontinum. Semakin besar derajat kesukaan, perhatian, dan penerimaan hangat terhadap klien, maka semakin besar pula peluang untuk menunjang perubahan pada klien.
c. Pengertian Empatik yang Akurat.
Empati adalah lebih dari sekedar refleksi perasaan. Empati memerlukan lebih daripada perefleksian isi kepada klien, dan lebih daripada suatu teknik artifisial yang rutin digunakan oleh terapis. Empati juga bukan semata-mata pengetahuan objektif yang merupakan suatau pemahaman yang mendalam dari subjektif tentang klien dengan klien. Empati adalah suatu identifikasi pribadi dengan klien.
Terapis berusaha keras untuk mengindera pengalaman subjektif klien, terutama pengalaman disini dan sekarang. Tujuan pengertian empatik yang akurat adalah untuk mendorong klien agar lebih erat dengan dirinya sendiri, mengalami perasaan-perasaannya sendiri dengan lebih dalam dan intens, serta mengenali dan mengatasi ketidakselarasan yang ada pada klien.
Konsep ini menyiratkan bahwa terapis memahami perasaan-perasaan klien seakan-akan perasaan-perasaan itu adalah perasaan-perasaannya sendiri, tetapi tanpa tenggelam di dalamnya. Penting untuk difahami bahwa taraf yang tinggi dari empati yang akurat bisa melampaui pengenalan terhadap perasaan-perasaan yang jelas menuju pemahaman terhadap perasaan-perasaan yang kurang jelas dan kurang nyata dialamimi oleh klien. Terapis membantu klien memperluas kesadarannya atas perasaan-perasaan yang hanya diakui sebagian.
Sama halnya dengan dua konsep yang terdahulua, empati yang akurat pun berda pada suatu kontinum. Semakin besar derajat terapis, maka akan besar pula peluang yang dimiliki oleh klien untuk melangkah maju dalam terapi.
D. Proses dan Tahapan Terapi
1. Fase Pra Interaksi
a. Tahap Assesment
Menilai (melakukan assesment) apa yang sebenarnya menjadi masalah masalah klien adalah bagian yang sangat dari konseling. Assesmen mempunyai banyak fungsi dalam proses konseling. Memberikan pendekatan yang sistematik untuk memperoleh dan mengorganisasi informasi yang relevan tentang klien. Mengidentifikasi peristiwa-peristiwa apa yang memberi kontribusi pada timbulnya masalah klien. (Hackney dan Cormier, 2001, hlm.75).
Menurut Hackney dan Cormier (2001), komponen assesment adalah:
1) Interview Riwayat Hidup, dalam melakukan wawancara intake riwayat hidup ini, yang harus diperoleh adalah :
Data Identifikasi : Nama, alamat, telepon. Data yang mempermudah untuk dapat menghubungi klien bila diperlukan. Juga dari alamatnya sudah dapat disimpulkan dapat kondisi kehidupan klien (daerah kumuh, tingkat menengah atas dll) Termasuk disini adalah umur, jenis kelamin, status pernikahan, pekerjaan/sekolah.
Presentasi Problem oleh Klien : Bagaimana klien menyampaikan masalahnya. Tulis seperti yang diungkapkan oleh klien.
Tatanan Kehidupan Klien Saat Ini : Mencakup latar belakang dan konteks kehidupan sehari-hari klien.
Riwayat Keluarga
Riwayat Pribadi : Riwayat medik, pendidikan, pekerjaan, seksual dan marital, pengalaman yang dimiliki dengan konseling, sasaran pribadi klien dalam hidup.
Deskripsi tentang Klien selama Interview
Ringkasan dan Rekomendasi : Bila pewawancara hanya bertanggung jawab untuk interview intake, apakah ada hubungan antara masalah yang dipresentasi oleh klien dan riwayat hidupnya. Dan menentukan model konseling apa yang cocok untuk klien itu.
2) Definisi Masalah
Pendefinisian masalah menurut Hackney dan Cormier (2001), adalah dimensi kedua dalam melakukan assesmen terhadap masalah klien. Dimensi pendefinisian masalah ini berbeda dengan pencarian informasi awal, karena disini fokusnya melakukan eksplorasi terhadap caranya klien mempresentasikan problem. Yang tercakup disini tidak saja masalah yang diprsentasikan pada awalnya (presenting problem) tetapi juga masalah-masalah lain yang muncul kemudian.
Hackney dan Cormier (2001, hlm. 79-80) menyebutkan area-area berikut untuk eksplorasi dan pemahaman dari masalah klien:
Pola Peristiwa : Yang memberi kontribusi (dapatkah diidentifikasi suatu pola atau sekuensi/urutan peristiwa yang sepertinya mengarah kepada timbulnya masalah dan juga mempertahankannya?)
Lamanya/durasi masalah : berapa lama masalah ini sudah mengganggu klien dan atau merintangi berfungsinya klien sehari-hari?
Keterampilan coping klien : mengatasi diri dari masalah
Brammer, Abrego dan Shostrom (1993), Hackney dan Cormier (2001) mengatakan bahwa pendefinisian masalah dapat pula dilakukan dengan manual diagnostik seperti Diagnostic and Statistical Manual.
b. Tahap Membangun Hubungan
Membangun hubungan dijadikan langkah pra-interaksi dalam konseling, karena klien dan konselor harus saling mengenal dan menjalin kedekatan emosinal sebelum sampai pada pemecahan masalahnya. Pada tahapan ini, konselor harus menunjukkan bahwa ia dapat dipercaya dan kompeten dalam menangani masalah klien. Willis (2009) mengatakan bahwa dalam hubungan konseling harus berbentuka working relationship yaitu hubungan yang berfungsi, bermakna, dan berguna. Konselor dan klien saling terbuka satu sama lain tanpa ada kepura-puraan. Selain itu, konselor dapat melibatkan klien terus menerus dalam proses konseling. Keberhasilan pada tahap ini menentukan keberhasilan langkah konseling selanjutnya.
Bimo Walgito,Bimbingan dan Konseling (Studi dan Karir), Andi Offset, (Yogyakarta, 2005) hal 187 Membangun hubungan konseling juga dapat dimanfaatkan konselor untuk menentukan sejauh mana klien mengetahui kebutuhannya dan harapan apa yang ingin dia capai dalam konseling. Konselor juga dapat meminta klien agar berkomitmen menjalani konseling dengan sungguh-sungguh.
Tahapan ini merupakan kunci awal keberhasilan konseling. Antara konselor dan klien adakalanya belum saling mengenal. Konselor diharapkan dapat menciptakan suatu perkenalan yang memungkinkan terbangun kedekatan dan kepercayaan klien. Dalam membina hubungan dengan klien, konselor dapat melakukan perkenalan secara lisan. Konselor memperkenalkan diri secara “sederhana”, yang tidak memberikan kesan bahwa konselor lebih tinggi statusnya daripada klien.
Pada tahap ini konselor membina hubungan baik dengan klien dengan cara menunjukkan perhatian, penerimaan, penghargaan, dan pemahaman empatik. Apabila klien dekat dengan dan percaya kepada konselor, ia akan bersedia membuka diri lebih jauh untuk mengemukakan masalah yang dihadapinya kepada konselor. Sehingga klien dengan suka rela termotivasi untuk mengikuti proses konseling sampai selesai.
Jeanette Murad,Dasar-Dasar Konseling,(Universitas Indonesia Press, Jakarta, 2008) hal 98,Tahapan ini merupakan kunci awal keberhasilan konseling. Antara konselor dan klien adakalanya belum saling mengenal. Konselor diharapkan dapat menciptakan suatu perkenalan yang memungkinkan terbangun kedekatan dan kepercayaan klien. Dalam membina hubungan dengan klien, konselor dapat melakukan perkenalan secara lisan. Konselor memperkenalkan diri secara “sederhana”, yang tidak memberikan kesan bahwa konselor lebih tinggi statusnya daripada klien.
Pada tahap ini konselor membina hubungan baik dengan klien dengan cara menunjukkan perhatian, penerimaan, penghargaan, dan pemahaman empatik. Apabila klien dekat dengan dan percaya kepada konselor, ia akan bersedia membuka diri lebih jauh untuk mengemukakan masalah yang dihadapinya kepada konselor. Sehingga klien dengan suka rela termotivasi untuk mengikuti proses konseling sampai selesai.
c. Tahap Kontrak lanjut atau tidak
Menegosiasikan kontrak. Membangun perjanjian antara konselor dengan konseli, berisi : (1) Kontrak waktu, yaitu berapa lama waktu pertemuan yang diinginkan olehkonselidan konselor tidak berkebaratan; (2) Kontrak tugas, yaitu berbagi tugas antara konselor dan konseli; dan (3) Kontrak kerjasama dalam proses konseling, yaitu terbinanya peran dan tanggung jawab bersama antara konselor dan konseling dalam seluruh rangkaian kegiatan konseling.
2. Fase Terapi
Client-centered sebagai model, ia merupakan suatu cara yang penekanan masalah ini adalah dalam hal filosofis dan sikap konselor, dan mengutamakan hubungan konseling ketimbang perkataan dan perbuatan konselor. Implementasi teknik konseling didasari oleh paham filsafat dan sikap konselor tersebut. Karena itu model konseling Rogers berkisar antara lain pada cara-cara penerimaan pernyataan dan komunikasi, menghargai orang lain dan memahaminya (klien). Karena itu dalam teknik dapat digunakan sifat-sifat konselor berikut:
a. Acceptance artinya konselor menerima klien sebagaimana adanya dengan segala masalahnya. Jadi sikap konselor adalah menerima secara netral.
b. Congruence artinya karakteristik konselor adalah terpadu, sesuai kata dengan perbuatan dan konsisten.
c. Understanding artinya konselor harus dapat secara akurat dan memahami secara empati dunia klien sebagaimana dilihat dari dalam diri klien itu.
d. Non-judgemental artinya tidak memberi penilaian terhadap klien, akan tetapi konselor selalu objektif.
3. Fase Terminasi atau Closing
Salah satu tahap dalam konseling adalah saat konselor harus mengakhiri konseling. Pada dasarnya personal growth seseorang belum tentu berakhir seiring dengan berakhirnya konseling. Konseling yang efektif adalah konseling yang membuka kemungkinan pengembangan bagi klien (Jeanette Murad Lesmana,2011. hlm.144).
Metode atau langkah-langkah terminasi :
• Persiapan Verbal
Melalui ucapan-ucapannya konselor mempersiapkan klien bahwa konseling sudah akan segera berakhir. Dalam hal ini, konselor kemudian menyiapkan ringkasan final untuk dibicarakan, yang merupakan riviu dari apa yang sudah dicapai, tindak lanjut nanti-nantinya, atau menyiapkan ringkasan tertulis bila perlu. Ringkasan tersebut penting untuk mengetahui apakah sasaran-sasaran konseling sudah tercapai atau belum.
• Buka Jalur untuk Kemungkinan Follow-Up
Konselor tetap membuka kesempatan bagi klien untuk tindak lanjut. Dalam arti konselor tetap memberikan kesempatan pada klien untuk kembali kalua diperlukan. Namun demikian, catatan penting yang harus dicamkan oleh konselor adalah perlunya mencegah kemungkinan terjadinya ketergantungan klien terhadap konselor.
Membuka jalur follow-up ini terutama sangat perlu pada konseling yang sifatnya sangat terstruktur dan short-term.
• Kemungkinan Merujuk
Kadang-kadang merujuk klien pada konselor lain bisa dijadikan alternatif cara yang tepat. Namun demikian, ada beberapa hal yang perlu dilakukan konselor yang akan merujuk kliennya, yaitu mendiskusikan dengan klien, agar tidak merasa dilempar atau “diping-pong”. Akan lebih baik bila konselor memberikan beberapa nama konselor lain untuk dijadikan pilihan bagi klien.
Selain untuk klien dependen, rujukan juga merupakan langkah yang tepat bila konselor menyadari drinya tidak mampu atau tidak bisa menghadapi klien dengan karakteristik atau masalah tertentu. Setiap konselor memiliki keterbatasan yang harus bisa dipahami dan diterima oleh dirinya sendiri.
• “Pamit” secara Formal (Formal Leave-Taking)
Konselor “pamit”kepada kliennya bahwa konseling sudah selesai. Diusahakan suasana menyenangkan dan penuh kepercayaan, menghargai klien yang sudah dating mempercayakan masalahnya untuk mendapat bantuan.
Konselor perlu menyadari bahwa langkah-langkah untuk terminasi yang sudah disebutkan ini akan menyebabkan terminasi berjalan dengan lancer. Klien mungkin mencoba beberapa usaha untuk dapat “berdiri-sendiri”, tetapi ada kalanya kemudian terpaksa harus kembali untuk konseling (kepada konselor yang sama atau konselor lain). (Jeanette Murad Lesmana,2011. hlm.149-151).
E. Pengaruh dan Perkembangan Terapi Client-Centered
1. Pengaruh
Aplikasi dan pengaruh pendekatan ini mengacu kepada isu-isu kekuasaan dan politik, yaitu tentang bagaimana manusia mendapatkan, memiliki, membagi atau menyerahkan kekuasaan dan kontrol atas orang lain dan atas dirinya, maka pendekatan ini lebih dikenal sebagai pendekatan yang berpusat kepada manusia (Person-centered approach) atau (Person-centered therapy). Pendekatan ini dikembangkan atas dasar pertimbangan perlunya mendudukan individu dalm konseling sebagai personal dengan kapasitas positifnya (Thompson, et.al.,2004 & Corey, 1986). Rogers berasumsi bahwa manusia pada dasarnya dapat dipercaya dan memiliki potensi untuk memahani dirinya sendiri dan mengatasi tanpa intervensi langsung dari terapis serta manusia memiliki potensi untuk berkembang (Corey, 1986).
2. Perkembangan Teori
Garis besar evolusi teori Rogers. Hart (1970) membagi perkembangan teori Rogers ke dalam tiga periode sebagai berikut:
• Periode 1 (1940-1950): Psikoterapi non-direktif
Pendekatan ini menekankan penciptaan iklim permisif dan nonintervertif. Penerimaan dan klarifikasi menjadi teknik-teknik yang utama. Melalui terapi nondirektif, klien akan mencapai pemahaman atas dirinya sendiri dan atas situasi kehidupannya.
• Periode 2 (1950-1957): Psikoterapi Reflektif
Terapi terutama merefleksikan perasaan-perasaan klien dan menghindari ancaman dalam hubungan dengan kliennya. Melalui terapi reflektif, klien mampu mengembangkan keselarasan antara konsep diri dan konsep diri idealnya.
• Periode 3 (1957-1970): Terapi Eksperiensial
Tingkah laku yang luas dari terapis yang mengungkapkan sikap-sikap dasarnya menandai pendekatan terapi eksperiensial ini. Terapi difokuskan pada apa yang sedang dialami oleh klien dan pada pengungkapan apa yang sedang dialami oleh terapi. Klien tubuh pada suatu rangkaian keseluruhan (continuum) dengan belajar menggunakan apa yang sedang dialami
Dalam tiga puluh tahun terakhir, terapi client-centered telah bergeser ke arah lebih banyak membawa kepribadian terapis ke dalam proses terapeutik. Pada periode paling awal, terapi non-direktif secara nyata menghindarkan diri dari interaksi dengan klien. Terapi berfungsi sebagai penjernih, terapi tidak menampilkan kepribadiannya sendiri. Pada periode ini, teknik-teknik seperti sejarah kasus, tes psikologi, dan diagnosis tidak menjadi bagian dari proses terapeutik karena kasemuanya berlandaskan pedoman-pedoman eksternal: terapi client-centered mengandalkan dorongan pertumbuhan bawaan klien.
Kemudian, terapi beralih dari penekanan kognitif kepada klarifikasi, yang mengarah kepada pemahaman. Ciri periode psikoterapi reflektif yang menandai perubahan dalam praktek terapi yang aktual adalah penekanan pada pemberian respons secara peka terhadap unsur afektif alih-alih pada unsur sematik dari ungkapan klien (Hart, 1970, hlm. 8). Peran terapis dirumuskan ulang, penekanan diperbesar pada ketanggapan terapis terhadap perasaan-perasaan klien. Terapis merefleksikan perasaan-perasaan yang semata-mata menejelaskan komentar-komentar klien. Untuk menunjang reorganisasi konsep diri klien, terapis menjankan tugas dasar menghilangkan sumber-sumber ancaman dari hubungan terapeutik dan berfungsi sebagai cermin sehingga klien bisa memahami dunianya sendiri dengan lebih baik (Hart, 1970). terapis sebagai pribadi tetap tersembunyi dalam rumusan ini.
Pada periode berikutnya, terapi eksperiensial menitik beratkan kondisi-kondisi tertentu yang “diperlukan dan memadai” bagi kelangsungan perubahan kepribadian. Periode ini memperkenalkan unsur-unsur penting dari sikap-sikap terapis, yakni keselarasan, pandangan dan penerimaan positif, dan pengertian yang empatik sebagai prasyarat-prasyarat bagi terapi yang efektif. Kemudian, fokus alihkan dari refleksi terapis atas perasaan-perasaan klien kepada tindakan terapis mengungkapkan perasaan-perasaan langsungnya sendiri dalam hubungan dengan klien. Rumusan yang mutakhir memberikan tempat pada lingkup yang lebih luas dan keluwesan lebih besar dari tingkah laku terapis, mencakup pengungkapan-pengungkapan atau pendapat-pendapat, perasaan-perasaan, dan sebagainya yang pada periode-periode sebelumnya tidak diharapkan mucul.
Fokus pada pengalaman langsung dari terapis mengarahkan terapis kepada pengungkapan perasaaan-perasaannya sendiri terhadap klien jika dianggap pantas dan lebih dari periode-periode sebelumnya, mengizinkan terapis untuk membawa kepribadiannya sendiri. Rumusan-rumusan awal dari pandangan client-centered menuntut terapis agar mampu menahan diri dari keinginan memasukkan nilai-nilai dan penyimpangannya sendiri ke dalam hubungan terapeutik. Terapis menjauhi prosedur-prosedur yang umum digunakan seperti penetapan tujuan-tujuan, pemberian saran, yang umum digunakan seperti penetapan tujuan-tujuan, pemberian saran, penafsiran tingkah laku, dan pemilihan topik-topik yang akan dieksplorasi. Bagaimanapun, rumusan yang mutakhir mengarahkan dirinya sendiri pada pengurangan larangan-larangan tersebut di atas dan membenarkan terapis untuk lebih bebas dan aktif berpastisipasi dalam hubungan dengan klien dalam rangka menciptakan suatu atmosfer di mana klien merasa sepenuhnya diterima, apapun teknik untuk gaya yang digunakan oleh terapis.
BAB III
PENUTUP
A. Analisis
Pendekatan clientcentered berasumsi bahwa manusia mencari bantuan psikologis diperlakukan sebagai klien yang bertanggung jawab yang memiliki kekuatan untuk mengarahkan dirinya. Setelah itu, Rogers mengembangkannya dengan lebih luas dan menjangkau populasi yang lebih bervariasi seperti dalam keluarga dan pasangan, kelompok minoritas, kelompok antar ras dan antar kultur serta dalam hubungan internasional (Rogers, 1970 dalam Corey, 1986). Sehingga memberikan sumbangan-sumbangan kepada situasi-situasi konseling individual maupun kelompok atau dengan kata lain memiliki beberapa kelebihan diantara terapi-terapi lainnya, antara lain:
1. Memberikan landasan humanistik bagi usaha memahami dunia subjektif klien, memberikan peluang yang jarang kepada klien untuk sungguh-sungguh didengar dan mendengar.
2. Mereka bisa menjadi diri sendiri, sebab mereka tahu bahwa mereka tidak akan di evaluasi dan dihakimi.
3. Mereka akan merasa bebas untuk bereksperimen dengan tingkah laku baru.
4. Mereka dapat diharapkan memikul tanggung jawab atas diri mereka sendiri, dan merekalah yang memasang langkah dalam konseling.
5. Mereka yang menetapkan bidang-bidang apa yang mereka ingin mengeksplorasinya di atas landasan tujuan-tujuan bagi perubahan.
6. Pendekatan client-centered menyajikan kepada klien umpan balik langsung dan khas dari apa yang baru dikomunikasikannya.
7. Terapis bertindak sebagai cermin, mereflesikan perasaan-perasaan kliennya yang lebih dalam.
Jadi kesimpulanya, bahwa klien memiliki kemungkinan untuk mencapai fokus yang lebih tajam dan makna yang lebih dalam bagi aspek-aspek dari struktur dirinya yang sebelumnya hanya diketahui sebagian oleh klien. Perhatian klien difokuskan pada banyak hal yang sebelunya tidak diperhatikannya. Klien oleh karenanya bisa meningkatkan sendiri keseluruhan tindakan mengalaminya.
Adapun terapi client-centered ini memiliki kelemahan yang terletak pada beberapa hal berikut ini:
1. Cara sejumlah pemratek menyalahtafsirkan atau menyederhanakan sikap-sikap sentral dari posisi client-centered.
2. Tidak semua konselor bisa mempraktekan terapi client-centered, sebab banyak konselor yang tidak mempercayai filsafat yang melandasinya.
3. Membatasi lingkup tanggapan dan gaya konseling mereka sendiri pada refleksi-refleksi dan mendengar secara empatik.
4. Adanya jalan yang menyebabkan sejumlah pemraktek menjadi terlalu terpusat pada klien sehingga mereka sendiri kehilangan rasa sebagai pribadi yang unik.
Melihat beberapa kelemahan dari pendekatan client-centered di atas perlu adanya rekomendasi. Memang secara paradoks terapis dibenarkan berfokus pada klien sampai batas tertentu, sehingga menghilangkan nilai kekuatannya sendiri sebagai pribadi, dan oleh karena itu kepribadiannya kehilangan pengaruh. Terapis perlu menggarisbawahi kebutuhan-kebutuhan dan maksud-maksud klien, dan pada saat yang sama ia bebas membawa kepribadiannya sendiri ke dalam pertemuan terapi.
Jadi, orang bisa memiliki kesan bahwa terapi client-centered tidak lebih dari pada teknik mendengar dan merefleksikan. Tetapi client-centered berlandaskan sekumpulan sikap yang dibawa oleh terapis kedalam pertemuan denga kliennya, dan lebih dari kualitas lain yang mana pun, kesejatian terapis menentukan kekuatan hubungan terapeutik. Apabila terapis menyembunyikan identitas dan gayanya yang unik dengan suatu cara yang pasif dan nondirektif, ia bisa jadi tidak akan merugikan klien, tetapi bisa jadi juga tidak akan sungguh-sungguh mampu mempengaruhi klien dengan suatu cara yang positif. Ke otentikan dan keselarasan terapis demikian vital sehingga terapis yang berpraktek dalam kerangka client-centered harus wajar dalam bertindak dan harus menemukan suatu cara mengungkapkan reaksi-reaksinya kepada klien. Jika tidak demikian, maka kemungkinan yang nyata adalah: terapi client-centered akan dikecilkan menjadi suatu corak kerja yang ramah dan aman, tetapi tidak membuahkan hasil.
B. Kesimpulan
Client-centered, yaitu cara mengungkapkan tekanan batin yang dirasakan menjadi penghambat dengan sistem pancingan yang berupa satu-dua pertanyaan yang terarah. Selanjutnya klien diberi kesempatan seluas-luasnya untuk menceritakan segala uneg-uneg (tekanan batin) yang disadari menjadi hambatan jiwanya, pembimbing/ konselor dan atau terapis bersikap memperhatikan dan mendengarkan serta mencaat poin-poin yang penting yang dianggap rawan untuk diberi bantuan. Pada titik kesimpulan terakhir, pembimbing tidak memberikan pengarahan atau komentar apa-apa, melainkan bersikap menunjukkan kelemahan atau hambatan apa yan sebenarnya dialami oleh klien lewat test atau cara lain.
Terapi client-centered berlandaskan suatu filsafat tentang manusia yang menekankan bahwa kita memiliki dorongan bawaan kepada aktualisasi diri. Selain itu, Rogers memandang manusia secara fenomenologis, yakni ia baranggapan bahwa manusia menyusun dirinya sendiri menurut persepsinya-persepsinya tentang kenyataan. Orang termotivasi untuk mengaktualkan diri dalam kenyataan yang dipersepsinya.
Teori Rogers berlandaskan dalil bahwa klien memiliki kesanggupan untuk memahami faktor-faktor yang ada dalam hidupnya yang menjadi penyebab ketidakbahagiaan. Klien juga memiliki kesanggupan untuk mengarahka diri dan melakukan perubahan pribadi yang konstruktif. Perubahan pribadi akan timbul jika terapis yang selaras bisa membangun hubungan dengan kliennya, suatu hubungan yang ditandai oleh kehangatan, penerimaan, dan pengertian empatik yang akurat. Konseling terapeutik barlandaskan hubungan Aku-Kamu, atau hubungan pribadi-ke-pribadi dalam keamanan dan penerimaaan yang mendorong klien untuk menanggalkan perthanan-pertahanannya yang kaku serta menerima dan mengintegrasikan aspek-aspek dari sistem dirinya yang sebelumnya diingkari atau didistorsi.
Terapi client-centered menempatkan tanggung jawab utama terhadap arah terapi pada klien. Tujuan-tujuan umumnya ialah: menjadi lebih terbuka kapada pengalaman, mempercayai organismenya sendiri, mengembangkan evaluasi ineternal, kesediaan untuk menjadi suatu proses, dan dengan cara-cara lain bergerak menuju taraf-taraf yang lebih tinggi dari aktualisasi diri. Terapis tidak mengajukan tujuan-tujuan dan nilai-nilai yang spesifik kepada klien; klien sendirilan yang menetapkan tujuan-tujuan dan nilai-nilainya hidupnya yang spesifik.
Terapi client-centered menitikberatkan hubungan pribadi antara klien dan terapis. Sikap-sikap terapis lebih penting dari pada teknik-teknik, pengetahuanm atau teori. Jika terapis menunjukkan dan mengomunikasikan kepada kliennya bahwa terapis adalah pribadi yang selaras, secara hangat dan tak bersyarat menerima perasaan-perasaan dan kepribadian klien, dan mampu mempersepsi secara peka dan tepat dunian internal klien sebagaimana klien mempersepsi dunia internalnya itu, maka klien bisa menggunakan hubungan terapeutik untuk memperlancar pertumbuhan dan menjadi pribadi yang dipilihnya.
DAFTAR PUSTAKA
Corey, Gerald. 2010. Teori dan Praktek Konseling & Psokoterapi. Bandung: Refika Aditama.
Lesmana, Jeanette Murad. 2011. Dasar-dasar Konseling. Jakarta : UI-Press
Hidayat, Dede Rahmat. 2011. Teori Dan Aplikasi Psikologi Kepribadian Dalam Konseling. Bogor: Ghalia Indonesia.
Juntika. A. 2006. Bimbingan Konseling – Dalam Berbagai Latar Kehidupan. Bandung: PT. Refika Aditama.
Jurnal Model Pendekatan Konseling Client-centered dan Penerapannya dalam Praktik oleh Ulfa Danni Rosada
Boharudin.Skripsi: Penerapan Teori Client-centered dalam Konseling. UIN Sultan Syarif Kasim Riau. 2013
Syamsu Yusuf, Achmad Juntika. Teori Kepribadian. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar